Harus bisa
move on!
“Pokoknya aku gak akan ngelupain
kamu! Selamanya aku akan tetap sayang kamu!”
Itulah
kata-kata terbodoh yang pernah kuucapkan seumur hidupku. Kejadian itu sekitar
dua tahun yang lalu. Ketika itu Wisnu tiba-tiba saja memutuskan hubungannya
denganku. Sakit, perih, terluka, terkhianati, kecewa, semua perasaan bercampur
aduk menjadi satu.
Efek
kata-kata kutukan itu sepertinya masih berlaku. Sudah dua tahun berlalu, namun
aku tetap tidak bisa melupakannya atau lebih tepatnya tidak ingin melupakannya.
“Duh Mel
sampai kapan kamu mau jomblo terus? Kasian kan tuh Luki sejak pertama masuk
kuliah dia udah ngarepin cinta kamu,” omel Tiara.
Tiara sahabatku,
memang selalu saja berisik soal urusan cintaku. Seakan manajer, dia selalu
menjodoh-jodohkanku dengan pria-pria di kampus. Namun tidak ada pria yang
menarik perhatianku.
“Kenapa sih
Ra? Masih pagi terus saja ngomel,” keluhku.
“Bukannya
gitu Mel, aku tuh peduli sama kamu. Udah semester enam masa kamu belum juga
pacaran? Mau jadi perawan tua?”
“Enak aja
kamu!”
“Nah gak
mau kan?”
“Aku memang
gak mau jadi perawan tua tapi saat ini aku masih mau fokus dulu ke kuliah,”
jawabku mengelak.
“Aku sudah
bosan dengar alasan kamu yang begitu. Bilang saja kamu masih belum bisa
ngelupain dia kan?” tanyanya menyelidik.
“Dia
siapa?” tanyaku heran.
“Mantanmu!”
Aku pun
hanya diam. “Udah ah masuk kelas, jika tidak masuk nanti Pak Sinu pasti
mengomel!”
Aku pun
langsung berjalan dengan langkah cepat berusaha menghindari
pertanyaan-pertanyaan Tiara yang sama sekali tidak penting. Aku paling malas
kalau Tiara sudah bertanya-tanya layaknya wartawan. Jika aku jawab satu
pertanyaan pasti akan muncul pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Jika sudah
berdebat dengan Tiara pasti akan memakan waktu sampai berjam-jam. Karena hari
masih pagi dan aku malas sekali berdebat dengannya, jadi aku putuskan untuk
cepat-cepat pergi sejauh yang aku bisa.
“Maen yuk
Mel!”
Terdengar
suara yang tidak asing datang dari sebelahku. Suara laki-laki bertubuh
jangkung, mempunyai kulit berwarna putih, berhidung mancung, berkacamata, dan
mempunyai senyum yang teramat manis. Membuat wanita manapun yang melihatnya
akan histeris seperti kesurupan mahluk dunia lain.
“Melanis
Laurent..” suara itu terdengar lagi. Kali ini suara itu terdengar lembut dan
ramah, kuputuskan untuk menengok ke arah kiriku.
“Ternyata
kau Luki! Kupikir siapa. Maaf tadi kau bilang apa?”
“Kamu sibuk
gak? Maen yuk!” ucapnya dengan nada riang seakan aku akan menerima tawarannya
itu.
“Hmm..
sebenarnya aku sudah ada janji dengan Ti..” belum sempat aku melanjutkan
kata-kataku. Ponselku berbunyi.
“Halo?”
“Haa? Apa?
Kenapa tiba-tiba? Oh yasudah..”
Sial! Di
saat begini Tiara malah membatalkan janjinya denganku untuk pergi ke toko roti
langgananku. Dia sepertinya sengaja pergi dan membiarkanku jalan berduaan
dengan Luki. Ah sebal!
“Gimana?”
tanya Luki.
“Baiklah,”
jawabku.
Malamnya, sepanjang
perjalanan Luki tersenyum-senyum sendiri. Sepertinya ia dan Tiara sudah
merencanakan agar hari ini aku jalan-mungkin bisa dibilang kencan-dengan Luki
hari ini.
Tiara
memang cerdik. Mempunyai seribu cara agar aku dan Luki makin akrab. Tiara tidak
akan menyerah sampai aku dan Luki jadian. Dasar sahabatku yang satu itu memang
menyebalkan.
Malam ini
malam minggu. Malam dimana biasanya yang sudah punya kekasih mengajak
kekasihnya berkencan.
Dua tahun
lalu, aku dan Wisnu pun sering berkencan di malam minggu. Tempat favoritku dan
Wisnu adalah danau yang berada di pinggir kota. Kami selalu menghabiskan waktu
berdua disitu. Di pinggir danau, ada tukang jagung bakar yang selalu berjualan
disitu. Pedagang itu bahkan hapal betul nama kami karena seringnya aku dan
Wisnu bermalam minggu disitu. Namun kini semua itu tinggal kenangan.
“Malam ini
ada tempat yang ingin kamu datangi gak Mel?”
Suara Luki
membuyarkan lamunanku.
“Ah.. hmm..
terserah kamu saja!” jawabku malas.
“Begitu?
Baiklah aku akan mengajakmu ke tempat yang bagus,” ujar Luki sambil menunjukkan
senyum yang super manis yang selalu ia tunjukkan kepada wanita-wanita di
kampus. Ia pikir senyumnya itu akan mempan terhadapku? Sama sekali tidak!
Sekarang
aku mengutuk diriku. Kenapa malam ini aku mau menerima tawarannya? Harusnya
tadi aku tolak saja. Namun aku selalu tak bisa menolak, ketika Luki sudah
memohon-mohon untuk mengajakku keluar. Bukan karena kasihan. Lebih kepada rasa
malu. Karena jika ia sudah memohon-mohon pasti ia akan berteriak-teriak di
tengah lapangan dan memanggil-manggil namaku. Dasar pria gila!
Secara
keseluruhan memang tidak ada yang salah pada diri Luki. Wajahnya yang tampan
dengan hidung mancung, tubuhnya tinggi layaknya pemain basket NBA, dandanannya
pun rapi tidak berantakan seperti berandalan. Luki selalu membawa mobil ke
kampus. Dia nyaris hampir sempurna.
Bisa
dibilang ia setia, karena dari semester satu ia selalu menunggu cintaku berbalas
padanya. Walaupun ia tahu aku selalu saja tidak menanggapinya. Ia pernah
berpacaran satu kali, tapi hanya sebentar.
Entah
karena bodoh atau apa, sama sekali aku tidak tertarik padanya. Mungkin karena
kutukan kata-kata itu masih berlaku dalam hidupku.
Aku
teringat lagi dengan kejadian dua tahun lalu. Kenapa aku bisa mengucapkan
kata-kata itu? Kupikir dengan begitu Wisnu tidak jadi memutuskan hubungannya
denganku. Tapi tetap ia pergi meninggalkanku. Malah ia menjawab dengan dingin
dan berwajah tanpa ekspresi, “Cari saja pria lain! Masih banyak pria yang lebih
baik diluar sana!”
Itu adalah
kejadian sangat mengerikan yang pernah kualami. Sesudah itupun aku trauma-lebih
tepatnya dilema-aku lebih banyak menutup diri terhadap pria-pria yang
mendekatiku. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk bermain game ataupun fokus dengan kuliah. Sampai
saat ini trauma itupun belum hilang.
“Sudah
sampai! Ini tempatnya!”
Tak terasa
mobil yang kutumpangi ini berhenti dan sampai tempat tujuan. Kulihat Luki sudah
membukakan pintu untukku.
“Kita
dimana?” aku bertanya tapi belum beranjak dari tempat duduk.
“Sudah
turun saja,” jawabnya singkat.
Aku pun
turun dari mobil. Kulihat tempat ini tak asing bagiku. Tempat ini memang tak
asing. Tempat ini persis seperti tempat yang sering kukunjungi dua tahun yang
lalu. Danau yang terletak di pinggir kota.
“Kudengar
dari Tiara, kau suka danau. Kuputuskan untuk mengajakmu kesini,” ucapnya.
“Sepertinya
kau sudah merencanakan segalanya ya?”
“Ah tidak!”
jawabnya mengelak.
“Ayo kita
duduk di sebelah situ!” Sambil menunjuk ke arah kursi kosong tak jauh dari
tempat parkir mobil.
Kulihat jam
di tangan sudah menunjukkan pukul 21.45. Ku termenung mengingat masa lalu.
Hampir saja air mata ini tumpah. Namun aku harus kuat menghadapi kenyataan
bahwa Wisnu sudah pergi, entah dimana dirinya sekarang.
“Mel, apa
kau suka tempat ini?” Luki memulai percakapan.
“Ya”
“Aku juga
suka danau. Apalagi di malam hari.”
“Ya aku
juga.”
“Kalau kau
kenapa suka danau?”
“Mmm.. aku
sangat suka pantulan cahaya lampu yang terpantul dari rumah warga sehingga
menciptakan refleksi cahaya di air danau.”
“Wah kita
samaan ya! Aku juga suka pantulan sinar lampu!”
Ku mulai
berpikir. Luki mungkin suka semua yang aku suka. Karena begitulah pria ketika
mendekati seorang wanita lajang. Tiba-tiba mendadak menyukai sesuatu yang kita
suka untuk mendapat perhatian. Mungkin jika aku suka pakai lipstik berwarna
merah mencolok. Luki pun akan suka dan akan memakainya tiap kali ke kampus. Khayalanku
muncul lagi.
“Sudah
larut, pulang yuk!” pintaku.
“Sudah mau
pulang? Baiklah ayo kita pulang!”
Hari Senin
di kampus, kulihat Tiara tersenyum lebar di depan pintu kelas. Aku tak
menghiraukan ekspresinya yang seperti orang tak waras itu.
“Bagaimana
malam Minggunya?” tanyanya.
“Bagaimana
apanya?” tanyaku berpura-pura tak mengerti maksudnya.
“Malam
Minggu kemarin! Kau jalan sama Luki kan?”
“Ohh..”
“Kok cuma
oh?”
“Kayak
biasa aja dia ngajak aku jalan,” jawabku datar.
“Terus?”
“Gak ada
terusannya!” jawabku jengkel.
“Kalian gak
jadian?”
“Gak.”
Ku memasuki
kelas, mulai menjauh dari seribu pertanyaan Tiara. Ketika di dalam kelas ku
lihat Luki melambai-lambai ke arahku, mengisyaratkan agar aku duduk di
sebelahnya. Tapi ku memilih duduk di depan dekat dengan meja dosen. Tiara pun
duduk di sebelah kursiku.
“Mel, sori
ya waktu hari Sabtu aku tidak jadi mengantarmu ke toko kue,” bisik Tiara.
Ku
menatapnya dengan jengkel, “Pokoknya kau harus mentraktirku es krim!”
“Hehe iya
iya.. nanti sehabis jam ini beres kita ke toko biasa ya!”
Lalu sang
dosen pun masuk. Kami semua sudah diberitahu bahwa dosen yang lama akan
digantikan sementara dengan dosen baru, karena dosen yang lama sedang sakit dan
dirawat di rumah sakit. Aku sendiri pun tidak peduli mau dosen baru atau tidak,
yang penting nilaiku A di semua mata kuliah yang aku ikuti.
“Gantengnya!”
ujar Tiara sambil senyum-senyum sendiri. “Liat deh Mel ganteng banget!”
Aku tidak
peduli, aku sedang asyik menulis pada secarik kertas.
“Halo
semua, kali ini saya yang akan menggantikan dosen yang sebelumnya,” sapa sang
dosen kepada semua mahasiswa yang ada di kelas.
Suaranya
sepertinya tak asing. Kuputuskan untuk melihat wajah dosen yang kata Tiara
ganteng itu.
Wisnu? Apa
aku bermimpi? Apa benar yang dihadapanku ini Wisnu? Dosen yang baru itu adalah
Wisnu yang dua tahun lalu memutuskan hubungan denganku. Aku mulai berpikir tak
karuan. Kutampar pipi kananku sekeras yang aku bisa. Sakit! Ternyata benar ini
bukan mimpi.
“Wisnu?”
tanpa sadar bibirku bergerak sendiri. Ucapanku yang pelan pun terdengar
olehnya, karena hari ini aku duduk dekat sekali dengan meja dosen.
Wisnu
menengok ke arahku. Namun tak ada jawaban apapun. Wajahnya datar sama persis
ketika aku pertama kali bertemu dengannya. Datar tanpa ekspresi.
Selama
pelajaran, aku tidak fokus memperhatikan. Tak biasanya aku begini. Pandanganku
tak terlepas dari sosok Wisnu. Betapa aku sangat merindukannya. Dua tahun tak
bertemu kini ia lebih dewasa.
Wisnu,
sosoknya begitu spesial dimataku. Kharismatik dan berwibawa, sepertinya itu
adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Sekarang ia sudah bertambah
tinggi, pertumbuhan pria memang cepat. Tingginya berbeda jauh dengan tubuhku.
Potongan rambutnya pun sekarang sudah pendek dan rapi, tidak gondrong seperti
dulu. Mungkin karena pekerjaannya sekarang yang mengharuskan rambutnya
dipotong. Matanya masih sipit seperti dulu tak berubah. Setelan kemeja lengan
panjang dan celana bahan membuat dirinya begitu formal, tak seperti dulu ia
hanya mau memakai kaos polos dan celana pendek, sekalipun sedang jalan
bersamaku.
Ingin
sekali menyapanya. Melihatnya dari dekat. Mengobrol. Namun mustahil, sepertinya
ia sama sekali tidak ingin melihat wajahku.
Ketika jam
kuliah usai. Seperti yang dijanjikan Tiara, ia mentraktirku makan es krim di
toko yang biasa kami kunjungi. Es krim di toko itu memang terkenal kelezatannya
di kota ini. Setiap hari pun selalu penuh, apalagi ketika menjelang weekend.
Setelah
membeli es krim, tiba-tiba-memang kebiasaannya-Tiara lalu mendadak ada urusan
dan teganya ia meninggalkan aku sendirian berjalan ke rumah.
“Kebiasaan
burukmu itu harus diubah!” gerutuku kesal.
Tanpa
mendengarkan kata-kataku, Tiara lalu menyetop taksi yang lewat dan segera
pergi. “Sampai jumpa besok ya sayang!” ucapnya lalu menutup pintu.
Terpaksa
aku berjalan sendirian pulang ke rumah. Aku tidak mungkin meminta antar ke Luki
karena aku tak mau ia salah kira dan mengira aku menyukainya.
Ditemani
semangkuk kecil es krim aku pun berjalan sendirian. Hari ini terasa sangat
panas, ingin rasanya kulepas semua pakaian yang ada di tubuhku dan pergi
berenang. Mungkin rasanya akan sejuk sekali.
“Hai!”
Terdengar
suara dari belakangku. Suara yang aku kenal. Namun kuharap itu bukan suara
Luki. Kumohon!
Dengan
enggan ku menegok ke belakang. Ternyata Wisnu sudah berada di belakangku. Ia
pun sedang menikmati es krim.
“Sudah lama
tak bertemu,” ucapnya pelan. Kami sedang duduk di bangku taman. Wisnu meminta
untuk berbicara denganku.
Aku tidak
tahu harus menjawab apa, tidak tahu harus bersikap bagaimana, apakah harus
kukatan padanya bahwa aku sangat merindukannya? Aku sangat senang sekali
bertemu dengannya? Ah aku benar-benar salah tingkah.
“Tak
menyangka akan bertemu denganmu di tempat aku mengajar,” ucapnya lagi.
Aku juga.,
jawabku dalam hati.
“Bagaimana
kabarmu?” kali ini ia bertanya padaku dan menatapku.
Tanpa
sempat aku menjawab dia tertawa. “Kau tidak berubah, selalu berantakan ketika
makan es krim,” ujarnya sambil menawarkan selembar tisu kepadaku.
Ia masih
ingat kebiasaanku ketika sedang makan es krim? Pikirku heran.
“Kabarku
baik. Bagaimana denganmu?”
“Aku?
Kupikir juga baik,” jawabnya ragu.
“Sudah lama
menjadi dosen?” tanyaku penasaran.
“Kira-kira
sudah hampir setahun,” jawabnya singkat.
Wajahnya,
suaranya, benar- aku sangat merindukannya. Betapa dahulu aku sangat
menyayanginya. Kini pun masih sama. Apakah aku bisa menjalin hubungan lagi dengannya?
Sekitar
satu jam lebih aku bernostalgia dengannya. Aku pun bertukar nomor ponsel
dengannya. Betapa senangnya aku. Itu bsa berarti ia ingin tetap berhubungan
denganku. Perasaanku serasa terbang ke langit yang paling jauh. Senang sekali!
Di kampus aku
selalu bertemu dengannya, kadang ia sering mengajakku ke kantin kampus untuk
sekedar mentraktirku. Tertawa bersama, inilah yang aku inginkan. Aku harus
menikmati waktu bersamanya ini. Karena rencananya hanya sebulan ia menjadi
dosen pengganti. Ku berharap ia selalu menjadi dosen pengganti sampai aku
lulus. Namun mustahil.
Karena asik
dengan Wisnu, aku sampai melupakan sahabatku Tiara. Akhir-akhir ini aku jarang
bertemu dengannya maupun dengan Luki. Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan
Wisnu. Entahlah.
Ketika aku
sedang di toilet, aku tak sengaja berjumpa dengan Tiara. Seperti yang sudah
kubayangkan, ia datang dengan setumpuk pertanyaan.
“Hei kau!”
sapanya dengan nada kurang ramah.
“Eh Tiara.. long
time no see!”
“Sudah jangan banyak basa-basi deh”
“Hehe..” aku hanya bisa tertawa kecil melihat wajah
Tiara yang memerah, seperti banteng mengamuk.
“Sepertinya kau sudah punya pacar baru ya?”
“Pacar apa?”
“Itu dengan dosen pengganti!”
“Wisnu?”
“Siapalah namanya aku tidak peduli. Cepat jawab!”
“Mmm.. enggak!”
“Mengaku!”
“Beneran kok!”
“Aku tidak percaya!”
“Baik baik akan kuceritakan diluar saja? Bagaimana?”
Aku mengalah.
Tiara
setuju dengan tawaranku. Setelah mendengar penjelasanku, bahwa Wisnu ialah
mantan pacarku yang tak dapat kulupakan selama dua tahun. Ia pun hanya
mengganguk.
“Oh jadi
begitu, pantas kau cepat sekali akrab! Lalu bagaimana dengan Luki?”
“Kau tahu
aku daridulu memang tidak menyukainya. Kau saja yang memaksa!”
“Baiklah
aku restui hubunganmu dengan Wisnu. Tapi kuperingatkan kau, hati-hati terjebak
di lubang yang sama,” ujar Tiara menasihati bak seorang Ibu yang bijak.
“Siap bu!”
ujarku.
Keesokan harinya
ku bertemu lagi dengan Wisnu, tak terasa pertemuan itu sudah berjalan selama
satu minggu. Kuharap pertemuan ini tak pernah berakhir.
“Mel,
sampai ketemu nanti sore ya di taman kota!” ucap Wisnu setelah bertemu denganku
di kantin kampus. Kali ini ia hanya mengajar satu mata kuliah, sehingga ia bisa
pulang siang. Seusai mengajar, Wisnu bilang ada urusan mendadak. Tapi nanti sore
sekitar pukul lima, aku dan Wisnu berjanji akan bertemu lagi di taman kota. Aku
sendiri hari ini ada jadwal sampai pukul empat. Sungguh tak sabar bertemu lagi
dengannya. Tak pernah aku merasa bosan jika sedang bersamanya.
Ketika sosok
Wisnu sudah menghilang di tengah keramaian mahasiswa kampus, Luki tiba-tiba
muncul. Gerakannya tergesa-gesa, tampak wajahnya berwarna merah menyala seperti
banteng yang siap menyeruduk orang di sekitarnya. Luki pun menghampiriku.
“Mel!”
“Ya? Ada apa
dengan wajahmu? Habis ditonjok orang?”
“Tidak!”
“Lalu?”
“Aku ingin
menanyakan sesuatu padamu!”
“Ya tanya
saja, tapi langsung intinya ya! Bentar lagi ada kelas nih..”
“Apa kamu..
apa kamu punya hubungan dengan dosen pengganti itu?” tanyanya dengan wajah
super serius.
“Enggak!”
jawabku singkat.
“Tapi aku
lihat kalian akrab sekali belakangan ini. Kau tidak bohong?”
“Memang
kalau aku punya hubungan khusus dengan dosen itu kenapa? Kau cemburu?” Aku
balik bertanya.
“Iya!”
Hah? Luki
cemburu padaku? Memangnya ia siapa? Belum jadi pacar saja sudah main cemburu. Dasar
cowok aneh! Gerutuku dalam hati.
“aku tidak
ingin kau terluka Mel! Aku lihat sendiri kemarin di taman kota dosen itu
bersama wanita dan tampaknya akrab sekali,” ucap Luki berusaha meyakinkanku.
“Ah sudah
deh aku malas menjawab pertanyaan gak penting dari kamu! Lagian apa urusannya
sama kamu? Udah ya aku pergi dulu!”
Tanpa ingin
mendengar ocehan apapun dari Luki. Aku segera berjalan menjauh darinya. Dia pikir
dia siapa? Seenaknya saja ngomong begitu pada Wisnu. Kupikir alasannya yang
tadi pun hanya karangannya saja agar aku simpatik padanya.
...
Jam pulang
pun tiba. Aku bergegas dan meminta izin kepada Tiara agar hari ini berjalan
lancar seperti sebelumnya.
Sebelum menghampiri
Wisnu di taman. Kuputuskan untuk membeli es krim di tempat biasa. Kupilihkan yang
spesial untuk aku dan Wisnu makan di taman nanti. Es krim coklat bercampur
vanila dan diatasnya diberi potongan kue coklat dan permen warna-warni. Yummy! Nampaknya
lezat!
Tepat pukul
lima ku tiba di taman kota. Kulihat Wisnu sedang menungguku di kursi yang biasa
kami duduki.
Namun kulihat
dari kejauhan, ia sedang bersalaman dengan seorang wanita. Sepertinya Wisnu
kenal betul dengan wanita itu. Wisnu tidak melihat ke arahku. Ketika wanita itu
menjauh dan pergi, aku pun menghampiri Wisnu.
“Siapa dia?”
tanyaku dengan tampang cemas.
“Siapa?”
“Oh bukan
siapa-siapa. Hanya teman kantor,” jawabnya tegas sambil tersenyum ramah.
“Ini.. aku
baru membelinya tadi sebelum datang kesini,” ucapku sambil menyodorkan
semangkuk kecil es krim yang kubeli tadi.
“Terima
kasih,” jawabnya.
Terjadi keheningan
beberapa saat. Suasana ini terasa aneh, tak biasanya aku dan Wisnu jadi
canggung begini.
“Mel..”
“Iya?”
“Mmm...”
“Kenapa?”
“Apa kau
senang selama beberapa hari ini jalan bersamaku?”
Aneh? Kenapa
tiba-tiba Wisnu bertanya begitu? Tidak seperti biasanya ia menanyakan
perasaanku. Aku pun mulai berpikir yang aneh-aneh.
“Kenapa? Gak
senang ya?”
Melihat ekspresiku
yang diam saja. Wisnu berpikir aku tidak senang berjalan dengannya. Dengan cepat
aku menjawab, “Eh senang kok! Senang banget malah!”
“Syukurlah..”
jawabnya sambil tersenyum puas.
Kenapa? Kok
Wisnu jadi aneh begitu? Pikiranku mulai tidak karuan.
“Sebenarnya,”
tambahnya melanjutkan. “Sebenarnya ini adalah penebusan hutangku padamu.”
“Apa? Hutang?”
Aku sama
sekali tidak mengerti kemana arah pembicaraan Wisnu.
“Iya dulu
aku pernah menyakitimu. Aku dulu sangat jahat tidak memikirkan perasaanmu. Kurasa
aku harus membayar semua kebaikanmu mumpung masih ada waktu,” raut wajah Wisnu
kini berubah serius sambil menatapku.
“Memang kau
mau kemana? Apa kau kehabisan waktu?” tanyaku penasaran.
“Aku..
sebenarnya sebentar lagi akan menikah.”
Menikah?
Wisnu akan menikah? Dengan siapa? Kenapa mendadak sekali. Tiba-tiba dadaku
terasa sesak mendengar kata “menikah” terlontar dari mulutnya. Hatiku hancur
untuk kedua kalinya disebabkan oleh orang yang sama. Kali ini hancur sampai
sampai menjadi serpihan-serpihan terkecil yang tak akan bisa menyatu lagi
karena kepingannya sudah menjadi serpihan paling kecil seukuran debu. Dunia sesaat
melayangkan diriku terbang tinggi ke langit, namun menghempaskanku lagi dengan
keras ke bumi.
Kalau ia
ingin menikah. Lalu kenapa ia sengaja mengajakku jalan beberapa hari ini? Apa ia
senang melihatku menderita karena dirinya?
“Kau
mungkin bertanya, kenapa aku selama ini di dekatmu. Padahal aku sudah mempunyai
calon istri?” Kali ini Wisnu seakan bisa membaca pikiranku.
“Mulanya
aku memang tidak tahu akan bertemu denganmu lagi. Lalu ketika ku bertemu
denganmu. Terpikir langsung olehku dulu. Untuk menebus kesalahanku di masa
lalu. Karena ku ingin meyakinkanmu, bahwa kau harus benar-benar melupakanku!”
Jadi Wisnu
tahu aku belum bisa melupakannya? Darimana ia tahu?
“Setelah
setahun berpisah denganku. Ibumu menelponku. Katanya ia cemas dengan keadaanmu
yang kian hari kian memburuk. Tidak mau makan dan tidak mempunyai semangat
hidup. Aku mulai khawatir dengan keadaan itu. Aku tahu aku salah,” terdengar
nada penyesalan darinya seketika kulihat wajahnya muram.
“Ku ingin
kau mencari pria yang lebih baik daripadaku. Aku tahu kau pantas mendapatkan
itu. Hanya saja bukan dariku,” tambahnya.
Seketika hatiku
bergejolak. Ingin rasanya berteriak, karena hati ini sudah terlanjur sakit. Sakit
sekali. Tanpa sadar ku berkata, “Tidak! Aku tidak bisa!”
“Kenapa tidak
bisa?” tanyanya.
“Aku
hanya.. aku hanya.. merasa kaulah yang aku inginkan,” air mataku akhirnya
tumpah juga.
Wisnu melihat
air mataku yang jatuh dari kedua mataku, lalu mendengarku menangis. Wisnu pun
mengeringkan air mataku dengan kedua telapak tangannya. Tangannya terasa
hangat, sudah lama aku tak merasa sentuhan tangan ini.
“Kau harus
bisa Mel!” ujarnya sekali lagi.
“Kenapa? Kenapa?
Apakah kita tak bisa bersama lagi seperti dulu?”
“Tidak!”
“Kenapa? Apa
karena kau sudah mempunyai calon istri?”
“Aku ingin
kau tahu terlebih dahulu. Alasanku putus denganmu waktu itu ialah bukan karena
aku tidak mencintaimu. Tapi karena aku sudah dijodohkan dan tidak bisa ditolak!”
“Dijodohkan?”
“Iya,”
jawab Wisnu dengan nada gemetar.
“Kenapa kau
tidak menolaknya kalau memang kau tidak suka padanya?”
“Karena ini
adalah amanat dari almarhumah ibuku sebelum beliau meninggal, Mel! Aku ingin
menolaknya. Namun aku tidak bisa!”
Seketika itu
juga aku hanya bisa terdiam. Diam yang lama sekali aku tidak bisa menerima
kenyataan sepahit ini. Kenapa semua terasa begitu tak adil bagiku? Apa dunia
ini udah membenciku? Rasanya ku ingin melompat dari lantai paling atas gedung
pencakar langit. Aku tak bisa menerima kalau Wisnu harus pergi meninggalkanku
lagi, dengan luka yang bahkan jauh lebih dalam dan lebar.
Dengan
kesadaranku yang tinggal setengah, kudengar Wisnu mengucapkan kata-kata
terakhirnya sebelum pergi meninggalkanku, “Mel aku sangat minta maaf baru
memberitahumu sekarang, aku sangat menyesal. Tapi bolehkah aku meminta kau
berjanji padaku?”
“Apa?”
jawabku malas tidak berniat akan mengabulkannya atau tidak.
“Kau harus
berjanji padaku. Kau harus tetap selalu tersenyum dan bahagia walaupun tak
bersamaku. Kau harus bisa move on! Apa
kau mau berjanji padaku?”
Sekilas permintaannya
itu terdengar lucu. Ia memintaku agar bisa move
on dengan hati dan asa yang sudah berkeping-keping ini? Kurasa itu akan
sulit kulakukan.
“Mel?”
“Itu sulit.
Tapi akan kuusahakan,’ jawabku datar.
“Aku lega
sekarang. Aku sudah bisa melihatmu lagi, bertemu denganmu lagi tanpa perasaan
bersalah. Aku ingin kau selalu memegang janjimu itu. Oke!”
Aku hanya
tersenyum kecil mendengar kata-katanya. Sesudah ia mengucapkan perpisahan ia
perlahan menghilang dari hadapanku. Menghilang bersama angin sore yang dingin
di musim gugur.
Esoknya di
kampus, ku tak pernah melihat sosok Wisnu lagi berkeliaran di wilayah kampus. Aku
bertemu Tiara di koridor kampus, dan menatapku heran, “Hei Mel! Kudengar Wisnu
sudah tidak mengajar disini lagi dan sudah pindah ke luar kota? Apa benar?”
Aku tidak
menjawab pertanyaan Tiara. Aku hanya terdiam masih shock dengan kejadian kemarin. Masih tidak percaya dengan pengalam
cintaku yang begitu pahit. Tanpa sadar, air mataku mengalir deras membasahi
pipiku.
“Mel kau
kenapa?”
Aku lalu
memeluk erat sahabatku itu. Tanpa tahu harus berbuat apa, aku menangis
sekancang-kencangnya sambil memeluk Tiara. Lalu kuputuskan satu hal, mulai
sekarang aku harus move on! Aku harus
bisa memulai awal yang baru tanpa mengingat masa lalu yang sudah terlewati. Yap
harus move on
0 comments
No Rude Words, Please ^^