Dering


Aku Yuki, mahasiswi tingkat akhir di salah satu mahasiswi di perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sudah hampir tujuh tahun ini aku menetap di Jakarta besama sepupuku Nato. Aku berasal dari Jepang, namun karena ayahku harus menyelesaikan pekerjaannya di Jakarta, aku pun terpaksa pindah dari negaraku dan menuntut ilmu disini.
 Aku adalah anak tunggal, ibuku sudah meninggal sejak usiaku 14 tahun. Sekarang aku berumur 23 tahun, itu artinya sudah selama sembilan tahun aku tak memiliki sosok sang ibu.

Lokasi ayah dan lokasi kampus ku letaknya berjauhan, walaupun aku satu kota dengan ayah, aku tak tinggal bersamanya. Ayah mentujuhkanku di rumah adiknya yang letaknya tak jauh dari lokasi kampus ku, sedangkan ayah mentujuhi sebuah apartemen yang dekat dengan ttujuh Ia bekerja, sesekali aku mampir ke apartemen ayah hanya untuk sekedar melepas rindu dan juga meminta uang tambahan tentunya.

Kampus ku adalah salah satu kampus paling bergengsi di Jakarta, tak heran banyak anak-anak dari kalangan pejabat dan pengusaha kaya berkuliah disini. Aku sendiri disini mengambil jurusan kedokteran. Aku sudah lama igin menjadi dokter gigi dan katanya jurusan kedokteran disini salah satu yang terbaik.

Selama kuliah, aku mempunyai tiga teman baik. Ada Yuna yang merupakan anak kost yang berasal dari Bogor, Kelno laki-laki asal Bandung, dan Mika orang asli Jakarta.

Lalu ada Redhit, cowok paling cool menurutku. Bisa dibilang, aku sudah lama suka atau mungkin sekarang jatuh cinta sama Redhit, aku tak tau alasannya. Tapi, itu wajar kan? Banyak orang bilang jika menyukai seseorang itu tak perlu alasan tertentu. Mungkin kata orang-orang itu benar adanya.

Sudah lama aku selalu menjadi “secret admire” dari Redhit, namun aku tak pernah sekalipun berani berbicara dengannya. Aku dan Redhit berada di kelas dan semester yang sama, begitu juga dengan ketiga sahabatku yang lain. Namun, tiap kali Redhit mengajaku berbicara aku selalu saja bungkam, aku selalu saja diam, entah kenapa tiba-tiba saja pita suaraku serasa tercabut setiap kali melihat wajahnya. Ahh kenapa aku ini? Inikah rasanya jatuh cinta? Jantung terasa berdetak dua kali lebih cepat?

Ketiga sahabatku yang lain pun sudah mengetahui bahwa aku memiliki rasa yang lebih terhadap Redhit, mereka selalu bilang bahwa aku harus bisa membiasakan diriku agar tidak kaku tiap kali bertemu Redhit.

Padahal sudah hampir tujuh tahun aku selalu berpapasan dan berteman dengan Redhit tapi tetap saja aku.. aku tak bisa mengobrol banyak dengannya. Redhit selalu baik terhadapku, tapi Redhit tak pernah tahu mengenai perasaanku terhadapnya. Aku selalu kesal tiap kali dia mengobrol dengan wanita lain dari fakultas lain, atau semotor dengan mahasiswi lain. Aku tahu dia belum memiliki kekasih, karena aku selalu “memata-matai” dirinya.

Redhit memiliki banyak sekali teman wanita, aku selalu saja mendapatinya mengobrol denganw anita lain. Tiap melihatnya begitu, aku selalu merasa.. merasa.. cemburu. Cemburu? Aku bingung kenapa bisa merasa begitu, padahal pacarnya saja bukan.

Aku selalu berharap Redhit tahu tentang perasaan yang setiap hari mengganguku ini, setidaknya dia sadar bahwa ada seorang wanita yang selalu memperhatikannya.

“Hai,” sapa Redhit kepadaku.
“....”
“Nanti ada kuliah lagi kan jam 4?” tanya Redhit.
“I..I..YA!!” jawabku.

Percakapan dengan Redhit hanya sepintas menanyakan urusan kuliah saja dan selalu berakhir hanya dengan jawaban, “Iya,” saja dariku.

“YUKI!! Kau ini bodoh atau apa sih? Ditanya Redhit kok gugup gitu sih? Sampe keringet dingin gitu?? Kayak ditanya sama presiden aja sampai gugup gitu??” omel Mika.

Mika selalu mengomeliku tiap kali aku berpapasan dengan Redhit dan berakhir dengan tragis seperti tadi. Aku tak tahu harus bagaimana pasalnya, jantung ini selalu berdebar tiga kali lebih kencang dari biasanya tiap kali Redhit menunjukan senyumnya yang mematikan itu. Aku gugup!

“Dua bulan lagi kan wisuda kita lho.. Kamu mau berpisah gitu aja tanpa ngucapin sepatah kata apapun ke Redhit?” celetuk Mika.
“Benar juga! Bentar lagi kita wisuda ya? Pisah dong?” ucap Yuna
“Iya gak lah kita kan masih bisa berkomunikasi Na,” ucap Mika lagi.
“Kenapa Ki? Kok tampangnya sedih gitu?” Kelno bertanya.
“Iyalah sedih bentar lagi Yuki bakal gak liat muka Redhit lagi dan akhirnyaa.. gak Redhit gak bakal tau deh perasaan Yuki HAHAHAHA!!” tawa Mika puas.
“Apa..apa..an sih kamu aku..aku gak..kok!” jawabku gugup.
“Tuh kan mukanya merah,” ucap Kelno, Mika, dan Yuna.

Ketiga sahabatku itu memang selalu suka meledekku, apalagi soal Redhit mereka paling bawel dan paling senang ketika wajahku berubah menjadi merah. Menyebalkan!

Tapi dipikir-pikir benar juga, dua bulan lagi kami semua bakal wisuda. Itu artinya, sampai kapanpun aku tak akan pernah bisa menyampaikan perasaanku ini kepadanya. Disisi lain, aku ingin melihatnya dengan gagah memakai pakaian toga dan berdiri tersenyum menghadap kamera bersama ayah dan ibunya. Andai saja.. andai aku bisa berfoto bersama dengannya pada hari kelulusan. (bersambung)

You Might Also Like

2 comments

  1. bagus bagus sist, ditunggu sambungannya. tapi setelah ditelisik, kayaknya cerpen ini semacam curhat lo ya huahaha XD

    BalasHapus

No Rude Words, Please ^^