Aku Yuki, mahasiswi tingkat akhir
di salah satu mahasiswi di perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sudah hampir tujuh
tahun ini aku menetap di Jakarta besama sepupuku Nato. Aku berasal dari Jepang,
namun karena ayahku harus menyelesaikan pekerjaannya di Jakarta, aku pun
terpaksa pindah dari negaraku dan menuntut ilmu disini.
Lokasi ayah dan lokasi kampus ku
letaknya berjauhan, walaupun aku satu kota dengan ayah, aku tak tinggal
bersamanya. Ayah mentujuhkanku di rumah adiknya yang letaknya tak jauh dari
lokasi kampus ku, sedangkan ayah mentujuhi sebuah apartemen yang dekat dengan ttujuh
Ia bekerja, sesekali aku mampir ke apartemen ayah hanya untuk sekedar melepas
rindu dan juga meminta uang tambahan tentunya.
Kampus ku adalah salah satu kampus
paling bergengsi di Jakarta, tak heran banyak anak-anak dari kalangan pejabat
dan pengusaha kaya berkuliah disini. Aku sendiri disini mengambil jurusan kedokteran.
Aku sudah lama igin menjadi dokter gigi dan katanya jurusan kedokteran disini
salah satu yang terbaik.
Selama kuliah, aku mempunyai tiga
teman baik. Ada Yuna yang merupakan anak kost yang berasal dari Bogor, Kelno
laki-laki asal Bandung, dan Mika orang asli Jakarta.
Lalu ada Redhit, cowok paling cool menurutku. Bisa dibilang, aku sudah
lama suka atau mungkin sekarang jatuh cinta sama Redhit, aku tak tau alasannya.
Tapi, itu wajar kan? Banyak orang bilang jika menyukai seseorang itu tak perlu
alasan tertentu. Mungkin kata orang-orang itu benar adanya.
Sudah lama aku selalu menjadi “secret
admire” dari Redhit, namun aku tak pernah sekalipun berani berbicara dengannya.
Aku dan Redhit berada di kelas dan semester yang sama, begitu juga dengan
ketiga sahabatku yang lain. Namun, tiap kali Redhit mengajaku berbicara aku
selalu saja bungkam, aku selalu saja diam, entah kenapa tiba-tiba saja pita
suaraku serasa tercabut setiap kali melihat wajahnya. Ahh kenapa aku ini?
Inikah rasanya jatuh cinta? Jantung terasa berdetak dua kali lebih cepat?
Ketiga sahabatku yang lain pun sudah
mengetahui bahwa aku memiliki rasa yang lebih terhadap Redhit, mereka selalu
bilang bahwa aku harus bisa membiasakan diriku agar tidak kaku tiap kali
bertemu Redhit.
Padahal sudah hampir tujuh tahun
aku selalu berpapasan dan berteman dengan Redhit tapi tetap saja aku.. aku tak
bisa mengobrol banyak dengannya. Redhit selalu baik terhadapku, tapi Redhit tak
pernah tahu mengenai perasaanku terhadapnya. Aku selalu kesal tiap kali dia
mengobrol dengan wanita lain dari fakultas lain, atau semotor dengan mahasiswi
lain. Aku tahu dia belum memiliki kekasih, karena aku selalu “memata-matai”
dirinya.
Redhit memiliki banyak sekali
teman wanita, aku selalu saja mendapatinya mengobrol denganw anita lain. Tiap
melihatnya begitu, aku selalu merasa.. merasa.. cemburu. Cemburu? Aku bingung
kenapa bisa merasa begitu, padahal pacarnya saja bukan.
Aku selalu berharap Redhit tahu
tentang perasaan yang setiap hari mengganguku ini, setidaknya dia sadar bahwa
ada seorang wanita yang selalu memperhatikannya.
“Hai,” sapa Redhit kepadaku.
“....”
“Nanti ada kuliah lagi kan jam 4?”
tanya Redhit.
“I..I..YA!!” jawabku.
Percakapan dengan Redhit hanya
sepintas menanyakan urusan kuliah saja dan selalu berakhir hanya dengan
jawaban, “Iya,” saja dariku.
“YUKI!! Kau ini bodoh atau apa
sih? Ditanya Redhit kok gugup gitu sih? Sampe keringet dingin gitu?? Kayak
ditanya sama presiden aja sampai gugup gitu??” omel Mika.
Mika selalu mengomeliku tiap kali
aku berpapasan dengan Redhit dan berakhir dengan tragis seperti tadi. Aku tak
tahu harus bagaimana pasalnya, jantung ini selalu berdebar tiga kali lebih
kencang dari biasanya tiap kali Redhit menunjukan senyumnya yang mematikan itu.
Aku gugup!
“Dua bulan lagi kan wisuda kita
lho.. Kamu mau berpisah gitu aja tanpa ngucapin sepatah kata apapun ke Redhit?”
celetuk Mika.
“Benar juga! Bentar lagi kita
wisuda ya? Pisah dong?” ucap Yuna
“Iya gak lah kita kan masih bisa
berkomunikasi Na,” ucap Mika lagi.
“Kenapa Ki? Kok tampangnya sedih
gitu?” Kelno bertanya.
“Iyalah sedih bentar lagi Yuki
bakal gak liat muka Redhit lagi dan akhirnyaa.. gak Redhit gak bakal tau deh
perasaan Yuki HAHAHAHA!!” tawa Mika puas.
“Apa..apa..an sih kamu aku..aku
gak..kok!” jawabku gugup.
“Tuh kan mukanya merah,” ucap
Kelno, Mika, dan Yuna.
Ketiga sahabatku itu memang
selalu suka meledekku, apalagi soal Redhit mereka paling bawel dan paling
senang ketika wajahku berubah menjadi merah. Menyebalkan!
Tapi dipikir-pikir benar juga,
dua bulan lagi kami semua bakal wisuda. Itu artinya, sampai kapanpun aku tak
akan pernah bisa menyampaikan perasaanku ini kepadanya. Disisi lain, aku ingin melihatnya
dengan gagah memakai pakaian toga dan berdiri tersenyum menghadap kamera
bersama ayah dan ibunya. Andai saja.. andai aku bisa berfoto bersama dengannya
pada hari kelulusan. (bersambung)
2 comments
bagus bagus sist, ditunggu sambungannya. tapi setelah ditelisik, kayaknya cerpen ini semacam curhat lo ya huahaha XD
BalasHapusdamn -__-
BalasHapusNo Rude Words, Please ^^