Secarik Kertas


Kulihat dia sedang duduk di pojok kelas, sendirian dengan tatapannya yang tajam seperti biasanya. Selama tiga tahun sekelas dengannya aku selalu memperhatikannya, tak pernah dia mau berinteraksi dengan orang lain, sikapnya selalu dingin dan tatapan matanya itu selalu membuat siapapun enggan mendekatinya. Sekilas dia terlihat hanya seperti murid-murid SMU pada umumnya namun sebenarnya dia adalah seorang lelaki pembunuh, kusebut demikian karena aku pernah melihatnya sekali membunuh orang dan itu sangat menakutkan.


Waktu itu saat hujan deras, aku yang baru saja selesai berbelanja dari supermarket hendak pulang menuju rumah, karena tak membawa payung aku pun lari cepat-cepat agar hujan yang deras ini tidak terlalu membasahi tubuhku. Aku melewati jalan sempit agar bisa memotong jalan, namun ketika ku hendak belok ke jalan tersebut kudengar ada suara perkelahian antar dua orang.

Kuputuskan untuk menghentikan langkahku, karena jujur aku sangat takut melihat perkelahian tersebut. Ku lihat di antara kegelapan dan derasnya air hujan yang mengalir di antara mataku nampaknya di antara dua orang tersebut ada satu orang yang ku kenal.

Kucoba untuk melihatnya lebih jelas ternyata aku memang mengenal pria berkulit putih, bertubuh tinggi, dengan warna rambut merahnya yang khas. Pria itu adalah Soka. Ku berpikir sejenak apa yang sedang dilakukannya malam-malam begini? Di saat hujan deras mengapa ia berkelahi?

Di saat aku aku mulai sibuk dengan semua pertanyaanku, tiba-tiba aku mendengar suara jeritan, “Ahh!” dan bruk! pria yang sedang berdiri di depan Soka pun terjatuh dan berlumuran darah.

Apa? Kenapa bisa? Apa yang sebenarnya terjadi? Soka adalah seorang pembunuh? Ku hanya bisa terdiam dan memutar arah lari sekencang-kencangnya dan menjauhi tempat dimana Soka berada.

Selama tiga tahun sekelas bersama Soka, aku tak menyangka bahwa Soka suka membunuh orang. Aku merasa ada bagian dirinya yang tidak terlihat merupakan orang yang lembut dan baik. Aku selalu memperhatikannya selama menjadi teman sekelasnya di sekolah swasta di kota Mexico, di saat yang lain tidak menyukainya karena sikapnya yang selalu dingin. Aku justru ingin sekali berbuat baik padanya dan mengetahui seperti apa sebenarnya Soka itu orangnya. Tetapi tiap ku mencari tahu fakta tentang Soka selalu saja nihil dan tidak mendapat hasil apa-apa, yang kudapat hanyalah fakta malam itu ia telah membunuh satu orang dan entah berapa banyak orang yang sudah dibunuhnya.

Dua hari lagi sekolahku akan mengadakan kunjungan ke sekolah lain dalam rangka bagaimana caranya belajar di tempat lain sekaligus ajang promosi sekolahku di tempat lain.

Setiap murid yang ada di sekolah diwajibkan mengumpulkan hasil laporan mengenai kunjungan tersebut dalam tim yang terdiri dari lima orang. Aku tentu dapat dengan mudah mendapatkan tim karena teman-teman sejatiku yang selalu bersama tiap kali ada tugas tim. Hanya saja aku, Ken, Mina, dan Ralf hanya terdiri dari empat orang dan kami kekurangan satu orang untuk dimasukan dalam kelompok. Lalu terpikir olehku untuk memasukan Soka ke dalam kelompokku.

“Satu orang lagi Soka aja ya!” ujarku.
“Kamu yakin mau masukin si Soka? Dia kan...” ucap Mina.
“Iya Win masa masukin Soka sih?! Yang lain aja!” ujar Ralf.
“Tenang aja.. Soka baik kok gak kayak yang kalian pikirin,” jawabku cepat.
“Gimana Ken setuju gak?” tanya Mina dan Ralf kepada Ken.
“Aku sih ikutin apa kata Winza aja, dia kan ketuanya!” jawab Ken dengan gaya santainya.
“Oke deh jadi kita ajak Soka aja ya hehehe..” jawabku senang.

Teman-teman di kelasku memang tak ada yang suka dengan Soka termasuk teman-teman baikku yang menganggap Soka itu menakutkan. Tapi entah kenapa tetap saja aku merasa Soka itu orangnya baik, mungkin aku ini aneh menganggap bisa berteman baik dengan Soka, yang bisa saja sewaktu-waktu ia datang membunuhku dengan kedua tangannya.

Kucoba untuk mendekati Soka yang sedang duduk di bangkunya, berharap ia mau menerima tawaranku untuk masuk tim yang sama denganku.

“Soka,” ucapku untuk memulai percakapan terlebih dahulu, namun ia hanya menjawabku dengan tatapannya yang sekejap membuat bulu kudukku merinding.

“Soka, kau mau tidak satu tim dengan timku untuk tugas nanti? Tim ku kekurangan satu orang lagi,” ucapku pelan berharap tidak membuatnya marah, namun Soka tetap diam.

“Mau ya please banget, teman-teman ku akan senang menerima kamu masuk dalam timku,” kali ini aku benar-benar seperti orang yang memohon belas kasihan berharap ia mau menjawab tawaranku.

“Baiklah,” ucapnya. Jawabanya yang singkat itu membuatku langsung menunjukan senyum lebar seketika, ternyata ia mau satu tim denganku, Ken, Mina, dan Ralf. Aku sangat senang sekali, berharap ia menjawab pertanyaanku sekali lagi, tapi segera kuurungkan niat itu karena takut menyinggung perasaannya.


Hari yang ditunggu pun tiba, kunjungan sekolah ke kota lain pun dilakukan. Kami satu kelas berada di bus yang sama dan posisi duduk kami pun diatur sesuai kelompok. Aku memilih bisa duduk dengan Soka. Sementara Ken, Mina dan Ralf duduk di bangku yang muatannya tiga orang.

Perasaan tak karuan bercampur aduk ketika aku duduk di sebelah Soka yang masih menunjukan sikap dinginnya kepada semua orang termasuk terhadapku, matanya yang tajam seakan penuh kebencian, tak heran kalau semua orang takut kepadanya.

Namun lagi-lagi perasaan ini muncul, perasaan dimana aku menganggap sebenarnya Soka itu baik.

Kucoba untuk bisa mengobrol banyak dengannya, karena momen ini jarang terjadi. Aku sungguh penasaran seperti apa Soka itu sebenarnya? Apa dia seperti yang dikatakan orang-orang? Terlebih lagi rasa penasaranku pada kejadian pembunuhan malam itu.

Tapi setiap ku ingin mulai pembicaraan selalu saja terhenti karena aku bingung menentukan kata-kata yang pas untuk memulai, akhirnya aku hanya bisa menatapnya diam-diam.

“Soka.. hmm.. ngerti dengan tugasnya?” kucoba beranikan diri memulai pembicaraan. Walaupun kutahu jawaban dari pertanyaan tersebut.

“Tidak,” jawab Soka.

“Oh gitu.. gak apa-apa kok nanti aku yang tanganin semuanya hehe..” candaku garing.

“Kenapa?” tanya Soka.

Apa maksudnya dengan kenapa? Aku tidak mengerti dengan pertanyaannya itu.

“Kenapa kau memilihku untuk masuk kelompokmu?” tanya Soka melanjutkan pertanyaannya.

“Hmm kenapa ya? Kupikir kau orang hebat, dan baik mungkin..” jawabku asal.

“Hmm.. kau belum tahu tentangku dan bilang kalau aku hebat?” tanyanya mulai sinis.

Aduh gawat! Jangan-jangan dia tersinggung! Duh bodohnya aku kenapa harus berkata-kata seperti itu sih?! Aku pun mulai panik.

“Kau ini unik sekali,” lanjut Soka.

Apa dia bilang? Dia bilang aku unik? Syukurlah ternyata dia tidak marah denganku. Aku coba terus membuatnya nyaman berada disisiku dan menunjukan bahwa aku ini bisa menjadi teman yang baik.

Setelah hampir tiga jam perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Ternyata kami semua harus menempuh perjalanan selama dua jam lagi untuk bisa sampai ke sekolah tersebut. Perjalanan selanjutnya harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena hanya terdapat jalan setapak dan tidak bisa dilalui dengan bus.

Kupikir, apa sebenarnya tujuan tugas ini? kenapa harus mencari sekolah yang letaknya di pedalaman begini? Aku dan yang lainnya pun bingung namun guru menyarankan agar kami segera bergegas sebelum turun hujan. Menyebalkan sekali.

Selama berjalan kaki, kami pun berjalan tetap dengan kelompok kami masing-masing. Soka pun mengikuti kami berempat dari belakang, dengan santainya Soka tidak menanggapi candaan-candaan kami selama perjalanan.

Aku dan teman-temanku memang selalu saja ribut jika sudah berkumpul, entah itu membicarakan yang tidak penting sampai berfoto-foto ria menggunakan ponsel menjadi salah satu kebiasaan kami. Aku khawatir Soka tidak menyukai suasana seperti ini.

Saat sedang berfoto, aku putuskan untuk mengajak Soka ikut dalam foto bersama kami. Aku tarik lengannya dengan nekat dan memaksanya agar mau di foto.

“Soka sini kita foto bareng! Kamu jangan kabur ya!” ucapku sok akrab. Soka pun hanya terdiam dan ketika Ken memotret, Soka pun hanya menunjukan ekspresi datarnya.

Tanpa kusadari aku telah merangkul tangan Soka saat foto bareng barusan. Aku panik, aku pun segera melepaskan tanganku darinya. Soka pun terlihat terkejut dan melihat ke arahku.

“Maaf,” ucapku cepat-cepat takut membuatnya marah. Namun dia hanya diam dan kami pun meneruskan perjalanan kami.

Saat aku memegang tangan Soka, aku merasakan tangannya yang berkulit putih itu sangat kekar dan keras, telapak tangannya pun besar dua kali lipat daripadaku. Aku baru menyadari setelah berjalan bersebelahan denganku bahwa tinggi Soka dengan tinggi tubuhku ternyata cukup berbeda jauh.

Semakin lama perjalanan menuju ke sekolah tujuan itu semakin sulit, kami mulai memasuki desa-desa kecil dan hutan-hutan yang agak seram untuk siswa seperti kami. Aku masih kesal kalau tahu akan seperti ini aku mending tidak usah ikut saja dan mengikuti tugas susulan.

Tapi ada untungnya juga, dengan berjalan seperti ini aku bisa mencari informasi tentang Soka yang sudah lama aku ingin ketahui. Dari semua laki-laki yang ada di sekolah, hanya Soka yang menarik perhatianku. Karena kupikir dia berbeda dari yang lainnya di sekolah.

Ken yang memimpin perjalanan kelompok berjalan di depan, sementara Mina ditemani Ralf karena Mina takut sekali dengan keadaan hutan seperti ini. sementara aku berjalan dengan Soka di belakang mereka bertiga.

Lagi-lagi aku mulai memberanikan diri untuk memulai percakapan. “Soka sebenarnya aku tahu kamu baik, gak seperti yang orang bilang.”

“Mungkin,” jawabnya.

“Lalu kenapa kau dingin terhadap semua orang dan bukannya berinteraksi?” tanyaku penasaran.

“Aku tidak mau,” jawabnya.

“Kenapa? Menyenangkan loh jika kamu kenal mereka.”

“Mungkin aku belum mau entahlah..”

Setelah lama mengobrol, aku pun akhirnya tahu bahwa dia orang yang baik dan tidak seperti yang orang-orang pikirkan tentangnya. Aku pun senang mengetahui hal tersebut.

Sampai kami menemukan..

“Aduh gimana ini?” seru Ken.

“Gimana kenapa?” tanyaku cepat.

“Itu ada sungai yang lumayan besar yang harus kita seberangi, arusnya deras banget!” ucap Ralf.

“Yang lain mana?” tanyaku.

“Itu udah pada di depan, kayaknya kita ketinggalan jauh!” jawab Ken.

“Terus gimana?” tanya Mina dengan nada ketakutan.

“Liat itu ada kayu sebelah sana, mungkin yang lain menyeberang lewat kayu itu,” ucapku setelah melihat kayu yang bisa dijadikan sebagai jembatan penyeberangan walaupun sebenarnya tidak bisa disebut dengan jembatan.

Akhirnya kami berlima pun menyeberang menggunakan kayu tersebut karena hanya itu saja caranya untuk menyeberang, aku menjadi yang terakhir menyeberang karena aku merasa bertanggung jawab sebagai ketua tim.

Ketika aku mulai menyeberang ku merasakan kayu sudah mulai bergetar ke kiri dan ke kanan, namun kucoba seimbangkan tubuhku. Tapi sepertinya sia-sia, kayu yang dijadikan jembatan itu pun patah dan aku... terjatuh!

Namun kurasakan ada tangan yang terasa dingin memegangi tanganku sehingga aku pun tak jadi terjatuh dan bisa melompat ke tempat teman-temanku berada. Soka tadi dengan cepat memegang tanganku, ketika kurasa tidak bisa mempertahankan posisiku pada kayu tersebut.

Kali ini ku merasakan tangan yang begitu lembu walaupun dingin, ku lihat ekspresi Soka saat itu seperti yang mengkhawatirkanku.

“Terima kasih,” ucapku pada Soka sambil tersenyum.

“Iya,” jawab Soka yang menunjukan senyumnya yang nyaris tidak terlihat itu, tapi kutahu baru saja aku melihat sebuah senyuman yang disunggingkan di wajahnya.

Kami pun melanjutkan perjalanan dengan posisi yang sama seperti sebelumnya, Ken di depan, Mina dan Ralf, aku dan Soka. Tetapi kali ini tangan kiriku dipegang erat-erat oleh Soka. Entah kenapa, rasanya seperti dia ingin melindungiku. Aku pun malu sekaligus senang ternyata tangannya benar-benar lembut atau hanya perasaanku saja?

Ketiga temanku yang lain sibuk memperhatikan jalan di depan dan tidak melihat kalau aku dan Soka berpegangan seperti ini. Ku ingin bertanya mengapa dia lakukan ini, bolehkah aku lepaskan pegangannya?

“Kau berbeda,” ucapnya.

“Berbeda kenapa?” tanyaku.

“Kau tidak seperti orang-orang lainnya, kau berhati lembut,” jawabnya.

Seketika itu juga jantungku mulai berdebar sangat kencang dan tanpa henti, paru-paru dalam tubuhku seperti memompa oksigen sangat cepat yang membuatku kesulitan mengatur nafas. Tenggorokanku terasa kering tak bisa mengucapkan kata-kata.
Apa yang terjadi pada diriku? Ada apa dengan Soka? Kenapa dia tiba-tiba menjadi sosok yang begitu.. hangat?

Tak terlihat tanda-tanda sepertinya Soka akan melepaskan tangannya dari tanganku bahkan sepertinya sangat kuat. Mungkin karena dia merasa nyaman berada di sisiku. Soka pun mulai bercerita banyak hal mengenai dirinya. Saat-saat yang telah kunanti-nanti.

“Waktu itu.. waktu itu di saat hujan dan pada malam hari, aku melihatmu membunuh orang, entah apa aku yang salah liat. Tapi aku yakin kalau ada kamu waktu itu sedang membunuh seseorang..” akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku.

Soka terdiam sejenak, namun tetap memegang tanganku. Lalu ia mengeluarkan sepatah, dua patah dan menjadi kalimat. Kalimat itu berisi penjelasan atas kejadian malam itu, Soka menceritakan semuanya kepadaku. Ia mengakui kejadian pada malam itu. Bukan dia sebenarnya yang menyebabkan orang itu mati, orang itu adalah musuh lama Soka, dan yang menyebabkan ia mati bukanlah Soka melainkan orang tersebut menusuk dirinya dengan pisau yang menyebabkannya berlumuran darah dan mati seketika.

Namun ia mengakui, bahwa sebenarnya ia adalah seorang pembunuh. Ia mengikuti salah satu gengster di Mexico yang terkenal dengan kasus pembunuhannya yang sadis dan ia termasuk ke dalamnya sejak ia berusia lima tahun. Sejak usia itulah Soka sudah diajarkan untuk menjadi pembunuh yang handal.

Melihat ekspresiku yang tidak terkejut mendengarnya menceritakan hal yang mengerikan membuat Soka tertawa, “kau tidak takut mendengar ceritaku? Apa kau kira ceritaku barusan terlihat seperti tidak serius?”

“Tidak, aku senang kau menceritakan banyak hal tentangmu. Itu artinya kau sudah menganggapku teman bukan?” jawabku polos. Soka pun hanya membalas dengan senyuman. Kuakui Soka lebih bagus saat terlihat ia tersenyum, senyumnya sangat manis sekali, membuat siapapun yang melihatnya bahagia melihat senyuman itu. Selama tiga tahun aku memperhatikannya di kelas, baru kali ini melihat ia senyum seperti itu sambil.. memegang erat tanganku.

“Ini buat kamu Soka,” kuberikan gantungan boneka beruang kesayanganku padanya. Aku tidak tahu apa dia akan suka atau tida terhadap benda yang dimiliki anak perempuan.

“Apa ini? untuk apa benda seperti ini?” tanya Soka.

“Ini untukmu sebagai tanda pertemananku padamu Soka, terima ya!”

Soka pun mengambil gantungan beruang kesayanganku dan menggantungkannya di tas slempang miliknya. Sepertinya ia senang menerima hadiahku tersebut. Aku pun senang melihatnya bersikap hangat kepadaku.

Perjalanan kami pun sepertinya sebentar lagi akan selesai, dengan mengikuti petunjuk arah yang ada membuat kami tidak tersesat dan dengan mudah menemukan lokasi dimana sekolah tersebut berada.

Terlihat sebuah bangunan sekolah yang sangat besar dan megah terletak di ujung jalan setapak. Bangunan tersebut sangat indah dengan desain bangunan yang sangat modern, aku masih tak percaya ada bangunan seperti ini di sebuah pedalaman desa.

Aku, Mina, Ken, Ralf dan Soka pun bergegas menuju sekolah idaman tersebut. Selama seminggu rencananya kami akan merasakan seperti apa sekolah disini. Sesampainya menuju pintu gerbang sekolah, Soka pun melepaskan tanganku. Perasaan sedih pun menghinggapi hatiku, apa hanya selama dua jam saja aku bisa dekat Soka?

Kami berlima pun duduk di salah satu bangku taman yang ada di sekolah tersebut untuk melepas lelah. Tiba-tiba aku ingin pergi ke toilet untuk mencuci muka sebentar, dengan enggan aku meninggalkan Soka dengan ketiga temanku berharap mereka tidak bertengkar satu sama lain.

Setelah selesai mencuci muka, aku pun kembali ke tempat tadi kami beristirahat. Tapi terlihat dari kejauhan, Soka tidak ada, yang kulihat hanya ketiga temanku. Kemana dia? Mengapa dia tidak ada disitu? Apa dia pergi?

Aku pun panik, mencari kemana sebenarnya Soka pergi. Sampai saat ku menoleh ke belakang ternyata dia sedang berdiri di belakangku. Perasaan lega pun menghampiri ketika melihatnya sedang berdiri di belakangku.

Namun, kulihat tatapannya kembali tajam dan dingin tak seperti saat perjalanan tadi. Kenapa apa yang terjadi sebenarnya? Kulihat Soka kembali menjadi dirinya yang dulu.

“Kenapa kau? Apa ada yang salah dengan teman-temanku?” tanyaku khawatir.

Soka tak bergeming dia hanya terdiam dan hanya memandang lurus ke depan. Aku coba bertanya dan terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi padanya. Namun ia tak menjawab.

“Soka kenapa? Tolong jawab aku!”

Soka akhirnya menoleh ke arahku tapi dengan tatapan ingin membunuh. Aku pun takut saat itu juga. Lalu ia memberikanku sebuah kertas.

Kubuka kertas tersebut namun hanya terdapat angka-angka yang tidak aku mengerti. Apa sebenarnya maksudnya itu?

“Soka apa sebenarnya maksudmu? Kau mau pergi kemana? Tolong jangan tinggalkan aku!” ucapku yang penuh pertanyaan.

“Soka!”

“Aku harus pergi, Winza!”

“Lalu kertas apa ini?”

Soka hanya diam dan terus berjalan keluar menuju gerbang, aku berusaha menghentikannya dan mendapat jawaban tapi ternyata sia-sia. Soka terus berjalan dengan cepat dan menghilang di tengah kabut tanpa mengucapkan kata-kata perpisahan.



You Might Also Like

0 comments

No Rude Words, Please ^^