Teman(tan)

Senyumnya masih terbayang dalam ingatan. Senyum yang menyesakkan seluruh ruang di kepala yang hanya berukuran tiga belas sentimeter kali sepuluh sentimeter ini. Tidak ada yang istimewa sebenarnya dari senyumnya itu. Senyum yang tertempel di bibir tipis dan berwarna agak kemerah-mudaan. Di atas bibir yang tipis tersebut terdapat kumis tipis yang tampaknya telah dicukur rapi oleh sang empunya. Ketika tersenyum, Ia selalu menampakkan barisan giginya yang putih namun tidak begitu rata di barisan atasnya. Ketika tersenyum matanya mengecil, menyipit membentuk sebuah garis. Biasa saja.


Satu-satunya yang membuatnya tidak biasa adalah wajah sang pemilik senyum. Wajahnya tidak tampan tidak juga manis, jauh dari kriteria pangeran yang diidam-idamkan tiap wanita, jauh pula dari kriteria lelaki idamanku. Tapi wajahnya itu tidak terlupakan. Wajah tersebut pernah mengukir memori indah yang tidak bisa aku lupakan seumur hidup. Wajah yang selalu inginku lakban hitam setiap kali memandanganya. Lakban hitam kugunakan agar aku tidak perlu lagi melihat wajahnya dan juga senyumnya itu. Wajah yang sudah empat tahun ini tak pernah kutemui, kini tiba-tiba datang.

Tak kukira aku akan bertemu lagi dengan wajah seorang “mantan” yang pernah menorehkan kisah-kisah romantis empat tahun lalu dalam hidupku. Empat tahun berlalu, tapi aku tak bisa lepas dari ingatan tentangnya. Empat tahun berlalu, aku tidak akan lupa akan senyumnya yang khas.
Kini senyumnya itu datang lagi, dan membuatku rindu akan masa lalu. Walaupun tiga hari sudah lewat dari pertemuan terakhir kita. Tapi senyumnya tidak mau lepas, seakan telah menempel dengan lem yang super kuat dalam ingatanku.

Sebenarnya walaupun disebut mantan, Ia bukanlah mantan pacar seperti yang selalu dipikir orang-orang ketika mendengar kata “mantan”. Kami tidak pernah terikat dalam suatu hubungan bernama pacaran, tunangan, ataupun menikah. Tapi bagiku, Ia adalah mantan. Mantan yang pernah bilang Ia menyukaiku.

Jika disebut berteman, mungkin. Tapi teman bukanlah seorang yang bilang menyukaiku lalu melakukan hal-hal romantis bersama.

Hubungan kami memang sudah aneh dari awal. Ku kira, kami hanyalah sepasang teman biasa. Tapi teman-teman di sekitar kami selalu menyebut kami seperti sepasang kekasih. Padahal aku tahu dia tidak akan pernah menyukaiku, sekalipun aku menyukainya duluan. Karena hal itu, aku jadi malas menyukainya duluan, karena peluang untuk disukai balik adalah nol persen.

“La, aku suka kamu,” begitu ucapnya empat tahun lalu. Ia mengucapkannya hanya melalui telepon. Aku yang mendengarnya hanya terdiam kala itu. Mungkin hanya iseng saja, pikirku.

Baru sembilan bulan mengenalnya dan tidak ada tanda-tanda seperti orang yang jatuh cinta. Tiba-tiba, Ia bilang “suka” padaku. Aneh.

Aku tahu kami memang tidak ditakdirkan bersama. Semstinya aku tahu itu. Kami berpisah pun dengan cara yang aneh. Bukan seperti hubungan pacaran yang ada kata putus setiap kali ingin menyudahi sebuah hubungan. Ia pergi meninggalkanku begitu saja. Miris memang. Tak ada kabar, tak ada angin, dan tak ada hujan. Ia pergi begitu saja, seperti buih yang menguap dari permukaan air. Padahal saat itu, aku sudah mulai benar menyukainya, sangat.

Tiga hari lalu, aku berjanji bertemu dengannya. Mantan. Begitu selalu aku memanggilnya. Tak pernah kumau menyebut namanya lagi. Karena selalu membuat organ-organ di dalam tubuhku merasa nyeri dengan tiba-tiba. Aku bertemu Mantan tidak terencana.

Aku chat dengannya melalui e-mail. Aku liat dia sedang online. Awalnya aku iseng saja, mengecek apakah pemilik akun “JohnLennon” itu masih aktif atau tidak. Terbesit sedikit rindu dan bingung ketika memutuskan untuk memulai percakapan dengannya.

Percakapan aku mulai dengan membuka jendela chat yang terdapat di pojok kiri layar laptop-ku.

“Dor!”

Selalu seperti itu ketika aku yang memulai percakapan dengannya melalui chat. Ketika aku menuliskan satu kata itu, aku selalu menirukan bunyi seperti pistol yang meletus “dor!” begitu kira-kira bunyinya. Mantan pun sudah tahu bahwa itu kebiasaanku sejak lama, Ia pun selalu membalasnya dengan jawaban serupa.

Tapi tidak ada tanda-tanda respon balasan dari seberang. Mungkin akun itu sudah tidak aktif lagi pikirku, atau mungkin dia malas membalas pesanku itu. Tanpa usaha mencari tahu lebih jauh, kuputuskan untuk menutup jendela obrolan saat itu juga. Ketika aku ingin meng¬-klik tanda “X” kecil yang terdapat pada jendela itu, Kulihat tanda “typing” pada jendela obrolan.

Aku pun tersenyum.

“Dor juga!”

Percakapan di antara aku dan dia pun berlanjut menjadi obrolan yang teramat panjang. Bermula dari hanya satu baris, jadi berbaris-baris. Kami mengobrol macam-macam, mulai dari pertanyaan tentang kabar masing-masing, masalah perkuliahan, politik, ekonomi, waktu dia berkunjung ke Kuala Lumpur untuk urusan pekerjaan, dan aktivitas yang kini sedang dilakukannya.

“La, ketemuan besok gimana?” tulisnya dalam jendela percakapan yang ukurannya mungkin hanya 2 cm x 2 cm.

Aku yang melihat tulisan tersebut tidak percaya. Ada apa gerangan tiba-tiba dia mengajakku menemuinya? Karena penasaran, aku pun memberanikan untuk bertanya.

“Ada apa? Tumben...”

“Ini, aku mau ngembaliin buku kamu yang dulu pernah aku pinjam. Besok aku ke rumah ya!”
Setelah empat tahun tidak jumpa, rupanya Ia masih ingat betul rumahku. Padahal baru satu kali, Ia datang ke rumah. Itu pun sudah larut dan keadaan sudah gelap. Hanya cahaya bulan purnama yang menerangi kala itu.

“Tidak ah!”

“Lho kenapa?”

“Jangan di rumahku, kita bertemu di luar saja.”

Tanpa memberi alasan kenapa aku lebih mengajaknya di luar dibandingkan dengan bertemu di rumah, akhirnya kami berdua pun bertemu di salah satu kafe yangterletak di pusat kota. Aku dan dia selalu bertemu di kafe itu dulu.

Pukul dua siang. Aku menunggunya di dalam kafe. Tak tampak akan kehadirannya. Rasa gugup bercampur bingung menyerang. Gugup karena sudah empat tahun tidak bertemu, bagaimana aku harus mengawali pembicaraan. Bertemu langsung dengan berbicara melalui chat itu berbeda tiga ratus enam puluh derajat. Aku agak lupa wajahnya. Apakah dia masih mengingat wajahku? Aku harap dia masih ingat, karena aku malas jika aku harus mencarinya dan menyapanya duluan.

Ketika berkomunikasi melalui e-mail, kau tidak perlu bingung harus berpenampilan seperti apa. Kau hanya perlu mengetik beberapa baris kata pada layar komputer, melalui tuts-tuts yang ada pada keyboard. Beda halnya dengan berbicara langsung di depan wajah seseorang. Kau harus mengatur intonasi suara, pergerakan bibir, dan tatapan saat bicara agar semuanya serasi dan orang todak meremehkan perkataanmu.

Rintik-rintik hujan pun mulai membasahi jalan di luar kafe. Langit tampak gelap karena ditutupi oleh awan berwarna abu-abu tua. Ku lihat ada seorang pria bertubuh tinggi memakai jaket berwarna hijau yang tampak sedikit basah, sepertinya dia berlari ketika sedang menuju kafe, tampak wajahnya begitu kelelahan dan napasnya terengah-engah. “Hosh, hosh!”

Aku perhatikan dari tempatku duduk, wajahnya sepertinya tak asing. Ia menyelidik ke seluruh ruangan kafe tampak mencari sesuatu atau seseorang. Ketika wajahnya terpaku pada wajahku. Ia pun mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya yang berwarna hijau.

Aku merasakan ponsel di dalam tas kecilku bergetar. “Halo La, duduk di belah mana?”

“Aku duduk di dekat jendela, memakai baju berwarna ungu, memakai hijab hitam.”

Wajah pria yang masih daritadi berdiri di dekat pintu masuk seketika trsenyum. Aku pun langsung teringat akan senyum khas itu. Senyum yang selalu membuat rindu.

“Hei, sudah daritadi ya?”

“Lumayan.”

“Gimana kabar?”

“Baik.”

“Sendirinya?”

“Lumayan.”

Begitulah seterusnya, kami pun mengobrol panjang lebar. Tapi nampaknya tak hanya aku yang merindukan sosoknya. Sepertinya dia pun merindukanku.

Mantan lebih banyak bercerita, aku lebih banyak mendengarkan. Aku lebih banyak tersenyum tipis, dia lebih banyak tertawa lepas.

Penampilannya kini lebih rapi. Rambutnya sudah tidak gondrong. Cukurannya rapi membuat wajahnya terlihat jelas. Ingin sekali ku melakbannya dengan lakban hitam. Dia tidak menyadari kalau aku tersenyum bukan karena ceritanya yang lucu, aku tersenyum karena bisa melihat lagi wajah yang telah lama tak kulihat.

Dia lebih banyak berbicara dan bercerita. Dia hanya memberiku sedikit kesempatan untuk berbicara. Aku memang orang yang tidak banyak bicara, aku lebih senang menulis ketimbang bicara. Seperti yang tertulis dalam salah satu cerpen dalam buku “Perkara Mengirim Senja”. Aku sangat suka kutipan “lebih banyak kata dalam diam”. Begitu pun aku, tak banyak kata-kata yang bisa aku ungkapkan dalam berbicara. Lebih baik diam.

Semakin berbicara, semakin banyak ia bercerita. Aku sangat senang ketika dia mulai berbicara tentang apa saja. Apa lagi kalau dia sudah tersenyum. Aku sangat ingin mencabut senyum itu dari wajahnya dan menyimpannya dalam tasku untuk kunikmati sendiri. Semakin banyak ia bercerita, aku jadi semakin tahu bahwa kita memang tak akan ditakdirkan untuk hidup berdampingan. Bahwa dirinya hanya bisa unttuk aku kagumi dan tidak untuk aku miliki.

Bogor, 13 Nopember 2014

You Might Also Like

0 comments

No Rude Words, Please ^^