Pertemuan kami tidak sengaja terjadi setahun lalu, ketika diriku
menginjak hamparan pasir putih yang dikelilingi oleh batu-baru kerikil dan
sisa-sisa rumah siput yang sudah tak lagi berpenghuni. Terkadang sapuan air
laut yang asin itu membasahi bagian ujung dari diriku, membuatku ingin berkata,
“Hei air laut bisakah kau memberi dirimu sedikit kecap agar rasamu menjadi
manis?”
Setelah hampir tiga puluh menit diriku berdiam terpana oleh
semburat-semburat senja yang berwarna jingga keemasan. Pesonanya begitu indah
ditemani langit yang mulai meredup. Setelah yakin senja telah menghilang bersama
kesunyian, aku pun mulai beranjak dan melanjutkan perjalananku kembali.
Dalam perjalanan, diriku selalu berhadapan dengan pasir-pasir
putih yang memnuhi bagian ujung hingga tubuhku. Tak kuasa aku hentikan setiap
langkah karena bukan aku yang memiliki segala takdir, aku harus pasrah dipenuhi
butiran-butiran pasir halus yang kini sudah memenuhi seleuruh bagian tubuhku.
Ketika itu, aku mendapati diriku tengah berhenti. Kubuka mata yang
terpejam, berharap butiran pasir tidak masuk ke dalam mataku. Rasanya perih,
namun aku penasaran kenapa diriku berhenti.
Kudapati diriku telah berhadapan dengan sepasang sandal. Sandal
berwarna hitam yang sudah using. Rupanya tak menarik untuk dipandang. Di bagian
sandal itu bertuliskan “I Love Jogger”, mungkin sandal itu berasal dari Bali,
tapi tetap saja dirinya tak mencerminkan keindahan dari Pulau
Dewata. Nampaknya sang pemilik jarang merawatnya dengan baik.
Samar-samar aku mendengar suara. “Kita sepertinya bakal lebih
dekat untuk sekarang dan seterusnya,” ucap sandal berwarna hitam tersebut.
“Kenapa kau bisa menyimpulkan hal yang mustahil seperti itu?”
“Tidak ada mustahil di dunia, lihat saja nanti,” tambahnya.
Karena malas menanggapi, aku pun mendiamkan ucapannya yang
menurutku sangat asal tersebut. Tapi kenapa aku berdiam diri cukup lama?
Sepertinya pemilkku senang berlama-lama dengan pemilik dari sandal kumal
tersebut.
Diriku sudah tak tahan ingin segera pergi saja. Aku lebih memilih
ditutupi dengan pasir yang menumpuk di seluruh tubuhku daripada harus berhadapan
dengan sandal yang sudah mulai mencuri-curi pandang terhadapku.
Di tengah kekesalan, akhirnya perjalananku kembali dilanjutkan.
Melewati gundukan-gundakan batu yang besar, hingga akhirnya sampai pada tangga
kayu yang pernisannya sangat halus. Senang sekali ketika sudah tahu, aku sudah
kembali ke sebuah resort yang mewah dan nyaman untuk ditinggali. Segala
kebutuhan hidup tersedia disini, termasuk mesin pencuci sepatuyang sangat
canggih.
Pemilikku yang tahu aku sudah sangat kotor memasukkanku ke dalam
mesin tersebut. Diriku yang hanya merupakan sepatu kets berwarna merah dengan
tali berwarna putih ini kurang dari lima menit, diriku ini sudah cantik seperti
sedia kala. Dia sangat tahu bagaimana cara merawat sepatunya dengan baik. Aku
jadi penasaran akan kemana diriku dibawa besok.
***
Aku sedang menunggu di sebuah restoran yang berlantaikan bebatuan
halus. Bebatuan ini sangat dingin ketika dipijak. Lantai ini juga merupakan
favoritku, karena dia tidak perlu membuatku kesakitan dan mengalami bengkak-bengkak.
Aku selalu kesal tiap kali pemilkku membawaku ke tempat-tempat yang membuat
tubuhku sakit, karena sakitnya bisa menjadi permanen jika dia tidak mengurusi
dengan baik.
Orang yang ditunggu pun akhirnya dating. Dia adalah sandal jepit
yang kemarin aku lihat. Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Apakah ini
takdir yang sudah tidak bisa diubah?
“Apa kataku, kita akan lebih dekat untuk seterusnya,” ucapnya
sambil tersenyum-senyum berharap aku membalas ucapannya.
Kulihat pemillku di atas sana. Wajahnya tampak sumringah, dia
selalu tertawa setiap kali lawan bicaranya, si pemilik sandal jepit berbicara.
Wajah sang lawan bicara sebenarnya tidak terlalu buruk. Dia cukup tampan,
dengan rambutnya yang tercukur rapi dan berwarna hitam pekat.
Dia selalu melontarkan lelucon-lelucon segar. Tak heran pemilikku
berseri-seri wajahnya. Tapi keadaan sang pemilik tak sama dengan sandal kumal
yang sedang berhdapan denganku sekarang.
“Kau pasti penasaran dengan pemilikku bukan?”
Aku diam masih malas menanggapi.
“Kenapa orang setampan itu memakai sandal kumal sepertiku?”
Aku mulai meliriknya sedikit. Sepertinya dia bisa membaca pikiran
orang.
“Aku ini sangat berharga untuknya.”
Karena mulai penasaran, aku pun mulai bertanya dan berani
menatapnya secara langsung.
“Kenapa?” tanyaku singkat.
“Dulu aku tidak seperti ini. Aku adalah hadiah dari ibu dari
pemilkku yang kini tinggal jauh. Ya aku akui pemilikku malas merawatku. Karena
aku tidak sepertimu, aku hanyalah sandal yang tidak perlu perawatan khusus
bukan?”
“Kenapa dia selalu memakaimu? Apa dia tidak punya sepatu?”
“Sepatu? Jangan Tanya. Dia memiliki lusinan sepatu di lemarinya
yang tertata dengan rapi. Aku pun tidak tahu kenapa, dia selalu tidak pernah
memakai sepatu-sepatu itu dan selalu memilihku. Bahkan saat pergi bekerja
ataupun menghadiri pertemuan-pertemuan penting,” jelasnya.
Baru aku tahu, dia bukanlah sandal yang sembarangan. Dia adalah
kesayangan sang pemilik, sehingga Ia jadi kumal seperti itu. Penampilannya
tidak mencirikan kepribadian sama sekali. Baru sekitar lima belas menit, Ia
menjelaskan tentang dirinya, aku tahu dia adalah orang yang baik, tutur katanya
pun begitu sopan. Terlihat sekali sang pemilik selalu membawanya ke
tempat-tempat terhormat.
Meski begitu, perkatannya benar. Sandal tak perlu perawatan khusus
karena dia hanyalah sepasang sandal. Sandal tak perlu rak khusus untuk
menyimpan dirinya, sandal tak perlu harus selalu dicuci ataupun disikat,
paling-paling kalau kotor hanya dibilas dengan air. Aku telah salah menilainya,
sejak saat itu kami pun berteman dekat dan pemilik kita masing-masing pun
kemudian menikah dan hidup bahagia.
1 comments
bagus...
BalasHapusNo Rude Words, Please ^^