Sudah hampir dua bulan saya merasakan ‘keras’-nya kerja pulang-pergi Bogor-Jakarta. Setiap harinya saya berkelana memanfaatkan jasa commuter line (CL), yang merupakan slah satu transportasi yang sangat berjasa bagi saya. Karenanya, perjalanan saya hingga Jakarta Barat hanya menempuh waktu satu setengah jam saja.
Jadwal berangkat saya tak pernah lebih dari pukul 06.05 pagi, paling-paling kalau lagi telat bangun saya naik keberangkatan selanjutnya di pukul 06.20, tak pernah lebih dari itu, jika lebih dari kedua jadwal tersebut, kereta biasanya suka mengalami gangguan yang berakibat keterlambatan pada ujungnya.
Pada pengalaman baru saya ini, saya selalu menemukan peristiwa-peristiwa unik terkait kehidupan di commuter line. Setiap pagi saya selalu berangkat bersama “Pejuang Pagi”. Sebutan ini saya tujukan untuk bapak-bapak dan pria dewasa lainnya yang berangkat sejak pagi-pagi buta untuk mencari satu dua rupiah di Ibu Kota untuk keluarga tercinta. Para pejuang pagi ini sungguh perkasa. Ada cerita unik setiap kali melihat tingkah mereka yang menurut saya lucu.
Setiap pagi, saya dan para pejuang pagi selalu sudah stand by di jalur tujuh, dimana CL jurusan Bogor-Jatinegara selalu berlabuh setiap paginya dan akan berlayar tepat pukul 06.05 pagi. Namun kami selalu sudah bersiap setidaknya pukul 05.45 pagi. Kenapa pukul segitu? Ya, tidak lain dan tidak bukan agar kami semua mendapatkan duduk di dalam CL. Perjalanan pagi-pagi buta selama satu setengah jam sayang bukan jika tidak dihabiskan dengan tidur? Apalagi nanti harus bekerja hingga petang tiba, waktu tidur di CL adalah waktu yang terbaik yang tidak ingin dilewatkan para penghuni CL di pagi hari.
Sepuluh menit kemudian, pukul 05.55 jika tidak ada halangan CL yang kami tunggu pun tiba di jalur tujuh. Ketika CL sudah ada dalam posisi terdekatnya dengan jalur, kami semua “para pemburu kursi” bersiap memasang kuda-kuda sekokoh mungkin di garis kuning batas aman para penumpang untuk berdiri di peron. Posisi siaga selalu dilakukan oleh seluruh penumpang, termausk saya agar tidak kalah dengan “terjangan” dari penumpang lain yang sama-sama ingin mendapat kursi di kereta.
Ketika CL masuk pun, kami selalu mengejar pintu. Ini fenomena unik yang hanya ditemukan di kereta pagi saja. Karena semuanya satu pikiran.
Kereta berhenti, pintu terbuka, dan yang terjadi berikutnya adalah…. Semua saling mendorong satu sama lain, saya yang notabene tubuhnya kecil hanya bisa terbawa arus dorongan saja.
Selain butuh tenaga yang ekstra, menjadi penumpang CL di pagi hari pun harus memiliki penglihatan yang jeli. Itu sebabnya saya selalu memakai kacamata saya ketika akan menaiki kereta. Penglihatan jeli ini diperlukan untuk melihat celah-celah atau peluang-peluang seandainya masih ada kursi kosong yang tersedia.
Kejadian ini selalu terjadi setiap pagi di hari Senin hingga Jumat. Senin dan Jumat adalah hari-hari krusial dimana volume selalu lebih penuh dibanding hari Selasa, Rabu, dan Kamis.
Yang saya ingin ceritakan dari para pejuang pagi ini adalah kesediaan mereka berbagi kursi atau mengalah, terutama untuk wanita seperti saya yang selalu memasang tampang memelas agar diberi tempat duduk (hahaha :D).
Mereka rela mengalah dan berdiri sepanjang perjalanan, kalau saya jujur tidak kuat berdiri lama entah kenapa kaki ini selalu goyah mungkin efek kurang olahraga :p
Begitu pun waktu pulang kerja, para pejuang pagi berubah menjadi para pejuang petang karena mereka lagi-lagi tidak duduk dalam perjalanan pulang kembali ke Bogor. Bayangkan betapa lelahnya mereka, betapa keras perjuangan mereka demi keluarga tercinta yang menanti mereka di rumah.
Buat saya yang baru satu bulan saja merasakan bolak-balik di commuter line rasanya tidak sanggup jika harus berdiri selama perjalanan pergi dan pulang, mereka dengan hebatnya melakukan hal tersebut selama bertahun-tahun. Sungguh perjuangan bapak-bapak yang hebat!
Para pejuang pagi rata-rata berusia 27-60 tahun. Mereka yang sudah tua masih mau mengalah demi wanita. Itu adalah hal yang luar biasa bagi saya, padahal jika mereka masih ingin duduk bisa saja, karena di CL adalah fasilitas kursi yang diperuntukan untuk lansia. Namun mereka dengan kebaikan hati mereka rela mengalah demi perempuan.
Pernah saya mendengar cerita dari dua bapak-bapak, yang satu berusia 56 tahun dan yang satu lagi berusia 60 tahun. Mereka keduanya bercerita tentang bagaimana lelahnya dia harus selalu berdiri selama bertahun-tahun setiap kali naik CL.Namun tetap ia lakukan karena memang harus dilakukannya. Hmm.. bapak-bapak yang umurnya saja masih semangat menghadapi hari, masa saya kalah?
Merasakan sendiri hal tersebut membuat saya lebih mengerti orang tua saya, bapak adalah salah satu pengguna CL juga setiap hari beliau kerja di Jakarta.
Semoga para pejuang pagi ini selalu diberikan kekuatan yang lebih dan lebih lagi. Saya harap pejuang pagi selalu bersemangat dan tidak mengenal kata menyerah untuk selalu berjuang demi keluarga.
0 comments
No Rude Words, Please ^^