Sahabat Dalam Karung

 
sumber: klimg.com
Matahari baru saja muncul dari balik awan gelap, mengintip perlahan malu untuk menampakan wujud aslinya. Awan gelap masih menguasai sebagian besar langit hari ini, sinar mentari yang cerah pun ragu untuk menunjukan kilaunya.

Tak ku sangka dalam pertemuan yang tidak terduga, di tempat kerja yang baru ada seseorang yang telah lama ku kenal namun tak pernah jumpa. Sudah sepuluh tahun lamanya kami tak bertemu, mungkin ia sudah lupa akan rupaku. Namun aku tahu betul yang kulihat di hadapanku kini merupakan seorang sahabat yang sangat ku rindukan.
Tubuhnya yang tinggi kekar dengan mata yang tidak terlalu besar dan rambutnya yang berwarna cokelat, merupakan ciri khasnya yang paling sering ku ingat. Saat kuperhatikan, Ia sedang duduk menatap serius layar komputer di hadapannya tanpa menghiraukan keberadaanku yang sudah berdiri tepat di depannya. Pantulan cahaya terang yang berasal dari layar komputernya begitu tertera jelas di wajahnya yang masam. Aku dan dia hanya dipisahkan oleh papan bilik yang tingginya tidak mencapai wajahku. Kemudian ku lihat di atas meja kerjanya terpampang sebuah papan nama yang bertuliskan Akmal Mashar, S.Ikom (Manajer). Setelah melihat papan nama tersebut barulah aku tahu betapa penting posisinya di kantor ini.
Ku coba menerka apa yang sedang dipikirkannya. Ia terlihat tampak begitu serius menatap lekat-lekat pada layar komputer yang ada di hadapannya. Kedua matanya yang sipit terlihat begitu merah, dan kantung matanya berwarna hitam pekat. Ku pikir ia sudah berhari-hari tidak merasakan nyenyaknya tidur.
Lalu ku coba memberanikan diri untuk menyapanya walaupun aku tidak yakin karena kami sudah lama tak bertemu, dan aku meragukan ia masih ingat akan diriku.
“Hai Mal!” sapaku. Sayang sapaan pertama tidak berhasil mengalihkan perhatiannya dari teknologi canggih yang ada di depannya. Aku mencoba menyapanya lagi.
Dengan nada yang ceria dan sedikit sok akrab aku mulai mengeluarkan suara. “Maaf Pak, Apakah ini benar dengan Pak Akmal Mashar yang asalnya dari Bogor?”
Aku sungguh berharap ia kali ini benar-benar menatap ke arahku. Kemudian ku lihat gerakan kecil dari yang mencoba menengok ke atas. A pun menatapku lekat-lekat, tatapannya begitu tajam seperti orang yang hendak marah. Apakah aku melakukan kesalahan karena sudha berani menganggunya?
Ia menatapku lekat-lekat, matanya makin mengerenyit dan kini yang kulihat hanyalah mata yang tampak segaris. Sepertinya ia mencoba mengingat siapa diriku. Rasanya aku malu dan tidak percaya diri, akankah ia masih mengenaliku seperti yang dulu?
Sesuatu terjadi dengan tatapan matanya, air muka Akmal menjadi lebih tenang. Alis yang sejak tadi aku perhatikan naik ke atas kini mulai menjadi biasa. Akmal menyunggingkan sebuah senyuman kepadaku. Sebelum ia sempat berbicara kepadaku, aku memutuskan untuk mencoba menyapanya sekali lagi.
“Hai Akmal. Masih ingat denganku?” kata ku.
“Tentu saja! Suara yang begitu ku rindukan. Violin!” jawabnya. Syukurlah wajahnya berubah menjadi sangat ceria dibandingkan sebelumnya. Aku lega karena ia masih mengingatku dan juga namaku. Yang paling membuatku senang ialah ia mengatakan ia sangat merindukan suaraku, apakah sebegitu indah suaraku ini? kemudian Aku memberitahunya bahwa mulai hari ini aku bekerja di kantor yang sama dengannya dan di divisi yang sama dengannya. Setelah mengobrol sebentar, aku pamit menuju meja kerja baruku yang letaknya tak jauh dari meja kerja Akmal.
“Bagaimana nanti kita istirahat bareng? Aku akan memberitahumu banyak hal.” Kata Akmal. “Baiklah.” Kata ku.
***
Aku dan Akmal yang sempat dipisahkan oleh ruang dan waktu yang cukup lama tak butuh waktu lama untuk bisa kembali akrab. Setiap hari selama bekerja, kami selalu menghabiskan waktu bersama saat jam makan siang. Banyak hal yang ia ceritakan padaku. Sama seperti dulu, ia dengan kepintarannya selalu membuatku terpesona. Sebagai pria ia sangat menjunjung tinggi feminisme. Ia ta keberatan harus membela hak-hak kaum hawa, ia berani menunjukan kegarangannya jika melihat wanita dilecehkan. Selama sepuluh tahun ini Akmal tak banyak berubah, itulah yang membuat aku jatuh hati padanya sejak dulu.
Berdasarkan ceritanya, ia hingga kini belum menikah sama sepertiku. Ia pun bercerita belum menemukan pendamping yang tepat untuk hidupnya. Pernah pada suatu hari, ia merasa ia sudah menemukan jodoh yang selama ini ia cari, namun sampai pada suatu saat kekasih yang sangat dicintainya itu meninggal akibat kanker.
Aku turut berduka atas kehilangan yang dialami Akmal. Namun di satu sisi aku merasa bahagia karena saat ini ia bukanlah milik siapapun. Mengetahui hal tersebut, hasrat ingin selalu bersamanya dan ingin di dekatnya pun kian meninggi. Sebenarnya aku mengetahui perasaan Akmal terhadapku hanyalah sebatas sahabat saja tidak memiliki ekspetasi yang terlalu tinggi. Tetap saja perasaan ini tak bisa terbendung, aku selalu mengaguminya sejak dulu namun karena aku dan dia adalah sahabat baik, aku tidak berani menunjukan apalagi mengungkapkan perasaan padanya.
Jika bisa, aku ingin menghilangkan perasaan berlebih ini dan mengalihkannya menjadi perasaan hanya sebagai seorang sahabat. Tetapi itu tidaklah mudah. Sangat sulit bagiku menghilangkannya, karena setiap saat, setiap hari dan setiap waktu aku selalu saja bertemu dan mengobrol banyak hal dengannya.
Aku bukanlah orang yang mudah jatuh hati kepada pria, sudah beberapa pria yang dikenalkan kepadaku oleh teman maupun orang tua tetapi aku menolaknya karena aku memang tidak merasa nyaman dengan hal-hal seperti itu. Pengalaman pahit soal cinta yang pernah aku alami terjadi sekitar beberapa tahun yang lalu, aku sangat menyanyangi kekasih ku tersebut tetapi beberapa tahun kemudian ia memutuskan hubungan dengaku tanpa sebab yang jelas. Dari situlah aku mulai menutup diri dengan pria-pria yang mencoba ingin berkenalan denganku.
***
Enam bulan kemudian, datanglah seorang karyawan baru di tempatku bekerja. Tubuhnya tinggi semampai, tinggi tubuhnya itu semakin terlihat tinggi saat ia menggunaka sepatu high heels berukuran 12 cm. Wanita itu memiliki rambut hitam bergelombang dengan memakai pulasan bibir berwarna merah menyala bibirnya sungguh terlihat seksi membuat pria-pria yang ada di kantorku ini begitu tergoda. Walaupun ia memakai kacamata itu tidak membuatnya tampak culun.
Selidik punya selidik ternyata wanita bernama Sofia tersebut adalah istri termuda dari bos perusahaan, ia baru saja dipindahkan dari kantor pusat dan kini ia menduduki posisi kepala keuangan di kantorku.
***
Aku, Akmal dan Sofia kini mulai berteman akrab. Walaupun Sofia berada di divisi yang berbeda dengan aku dan Akmal namun ia sangat ramah dan mudah berbaur dengan karyawan lain, tak sedikit orang di kantorku kini ingin mengenalnya lebih jauh. Aku pun turut senang mendengar kabar baik tersebut.
Rintik hujan di sore hari mulai berjatuhan, Aku dan Akmal sedang duduk di pojok sebuah kafe sembari menikmati coffe latte yang hangat. Kami memutuskan untuk berdiam sejenak sambil menunggu hujan mereda. Kulihat keluar jendela, riuh kendaraan memenuhi badan jalan, macetnya jalan tidak bisa dihindari. Hujan diluar tidak menunjukan akan segera mereda. Kulihat di seberang jalan terdapat anak kecil berumur sekitar enam tahun sedang memegang erat payung besarnya yang berwarna biru muda. Wajahnya terlihat sedih, mata besarnya melihat keadaan di sekelilingnya seperti sedang mencari seseorang, apakah ia terpisah dari orang tuanya? Sebelum aku sempat berdiri dari kursi empuk berwarna abu-abu untuk menolong anak kecil itu, ku melihat ada seorang wanita yang menghampirinya. Wanita yang membawa payung berwarna-warni. Sang anak kemudian tersenyum dan kemudian mereka pergi bersama-sama bergandengan tangan. Syukurlah pikirku.
“Menurutmu bagaimana dengan Sofia?” pertanyaan Akmal langsung memendarkan lamunanku. Mengapa ia bertanya tentang Sofia?
“Dia baik, walaupun ia istri bos tetapi tidak terlihat bahwa ia sudah memiliki suami.” kata ku.
“Oh begitu,” ucap Akmal. “Mengapa?” tanya ku.
“Tidak apa-apa.” jawab Akmal singkat.
“Apa kau tertarik padanya?” pertanyaan itu tiba-tiba saja terucap dari bibirku. Aku sama sekali tidak berniat untuk menanyakan hal tersebut dan aku sama sekali tidak mengharapkan jawaban apa-apa dari pertanyaanku yang aneh itu.
“Tidak. Dia sama sekali tidak menarik perhatianku.”
***
Sinar mentari yang cerah membuatku semakin bersemangat. Hari ini aku membawa kue kering cokelat hasil kerja kerasku semalam. Aku ingin membagikannya pada Akmal dan Sofia, semoga saja mereka menyukainya.
Saat tiba di kantor, seperti biasa aku menyapa orang-orang kantor dengan penuh senyuman, hal ini aku selalu lakukan agar tidak ada yang membenciku. Ketika hampir di meja kerja, ku lihat dari kejauhan Akmal dan Sofia sedang mengobrol bersama. Mereka tampak akrab dan terlihat senang satu sama lain, ku pikir ini saat yang tepat untuk membagi kue hasil buatanku kepada mereka. Namun kuurungkan niatku karena tidak ingin mengganggu keakraban keduanya. Alhasil kusabarkan diriku sampai waktunya pulang kantor.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, jam kerja telah usai saatnya aku mampir ke meja kerja Akmal dan Sofia. Namun, ketika ku ingin menuju ke meja kerja Akmal, aku tidak melihat sosok tubuh tinggi besar itu, kulanjutkan dengan pergi menuju meja kerja Sofia yang letaknya agak jauh dari divisiku. Bagian keuangan dan divisiku memang terpisahkan oleh pintu besi berwarna hitam. Kubuka pintu divisi keuangan namun tidak menemukan  Sofia, aku hanya melihat beberapa orang keuangan yang sedang bersiap-siap ingin pulang. Kemana Akmal dan Sofia pergi? Apakah mereka semua sudah pulang? Apakah Akmal dan Sofia sudah pulang tanpaku? Tetapi mana mungkin mereka sudah pulang? Toh barang-barang mereka masih ada di mejanya masing-masing. Segera kusingkirkan pikiran-pikiran negatif yang ada di kepalaku.
Kuputuskan untuk menunggu kedua teman baikku itu sampai mereka kembali ke meja mereka masing-masing.
Jam dinding yang memiliki warna keemasan dan gambar peta dunia di dalamnya sudah menunjukan pukul enam sore, namun tak ada tanda-tanda dari Akmal dan Sofia. Orang kantor yang lain pun sudah pergi yang tersisa hanya aku dan tas Akmal yang masih berada di atas kursinya.
Aku mencoba menhampiri ruang divisi keuangan sekali lagi. Dengan perlahan aku berjalan di bawah sinar lampu kantor yang hanya dinyalakan beberapa buah saja. Kulihat kantor divisi keuangan nampak gelap. Kubuka pintu baja berwarna hitam itu sehingga mengeluarkan bunyi “kreeek”.
Kemudian sesuatu yang tak ingin kulihat terjadi di hadapanku, dua teman baikku di kantor sedang asyik bercumbu. Mereka terlihat begitu menikmatinya sampai-sampai mereka tak menyadari keberadaanku.
Jari-jari tanganku lemas menjatuhkan toples kue cokelat yang kubawa-bawa daritadi. Mata ini tak hentinya mengeluarkan air mata tak percaya dengan apa yang ada di hadapanku.

Aku termenung. Inikah yang kausebut “Tidak menarik perhatianku”?

You Might Also Like

0 comments

No Rude Words, Please ^^