Hujan
kembali mengguyur seisi kota membuat jalanan yang sebelumnya kering menjadi
basah. Rumput-rumput dan dedaunan tersenyum gembira menyambut datangnya hujan
pagi ini. Aku sendiri sebenarnya tidak tahu harus menanggapi seperti apa akan
datangnya hujan. Tak sedih namun tak juga senang. Hampir setiap hari hujan
deras mengguyur kota yang memiliki simbol tugu kujang ini. sebenarnya Aku
sendiri pribadi yang sangat menyenangi datangnya hujan, karena dengan hujan
cuaca menjadi lebih sejuk, langit menjadi gelap, orang-orang harus keluar
menggunakan jaket tebal beraneka model, serta dengan datangnya hujan semua
memori manis masa lalu pun ikut hanyut bersama derasnya aliran air hujan.
Saat
ini, memori akan kenangan masa lalu mencuat keluar bersama derasnya hujan pagi
ini. Aku melihat keluar jendela, sedikit mengeluarkan jari-jari manisku agar
bisa merasakan dinginnya air hujan yang mengalir. Tak terasa tetes air mata
perlahan jatuh membasahi pipi. Aku teringat akan kenangan masa lalu, saat Aku
sedang bersama pria itu. Pria yang selalu membahagiakan hatiku, membuatku
tersenyum, mengajariku cara tertawa ceria seakan Aku adalah perempuan paling
beruntung di dunia. Pria itu adalah ayah. Ayah adalah sosok yang sangat
kurindukan setiap kali hujan datang menghampiri. Entah kenapa, tiap kali hujan
datang memori-memori manis bersama ayah dengan mudahnya keluar begitu saja dan
mengalir deras tanpa henti, membuatku sangat ingin Ia berada di sisiku saat
ini. namun, tak tahu sudah berapa banyak Aku berharap dan berdoa, sosok ayah
yang berkharisma dan gagah tidak akan kembali, karena Ia sudah dipanggil oleh
yang Maha Kuasa.
Tak
terasa begitu cepat waktu berlalu. Sudah setahun, Ayah meninggalkanku dan Ibuku.
Masih teringat jelas saat Ayah pergi meninggalkan dunia ini, saat itu sedang
musim hujan di bulan Desember. Saat kejadian mengenaskan yang merenggut
hilangnya nyawa Ayah, Aku sedang bersamanya. Seperti biasa, setiap hari Minggu.
Ayah selalu menemaniku bermain tak peduli saat itu sedang cerah atau hujan. Ayah
selalu mengajakku bermain. Katanya, agar Aku tahu tentang dunia luar tak hanya
dunia di dalam rumah saja. Padahal saat ini Aku sudah remaja kelas dua sekolah
menengah atas, tapi Aku selalu bermain dengan ayah seperti anak kelas dua
sekolah dasar. Walaupun begitu, Aku tidak malu bermain dengan Ayah, selama itu
bisa membuat Ayah senang, Aku akan melakukannya.
Dengan
mengendarai mobil, Aku dan Ayah berkendara menuju villa milik teman Ayah yang
berada di wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Setelah sebelumnya
berpamitan pada Ibu yang tidak ingin diajak pergi karena sedang mengurusi
urusan catering, akhirnya kami
berangkat sekitar pukul tujuh pagi.
“Hati-hati
ya Yah, dek,” kata Ibu sebelum Aku dan Ayah pergi. “Cuaca sedang buruk,
jalannya pelan-pelan ya Yah,” lanjut Ibu.
“Iya
Bu. Aku dan Ayah akan hati-hati kok Ibu gak usah khawatir,” jawabku.
“Ibu
mau dibelikan apa nanti pulangnya?” tanya Ayah yang sedang mengecek semua
perlengkapan di bagasi belakang.
“Tidak
usah Yah,” jawab Ibu singkat. Kemudian Ibu datang menghampiriku dan mengecup
keningku, begitu juga hal itu dilAkukannya terhadap Ayah. Ayah dan Ibu sangat
romantis pada momen-momen seperti ini. Ayah dan Ibu adalah sosok idolAku.
Mereka mengajariku segala hal tentang arti hidup, bagaimana cara menghargai
orang lain, bagaimana caranya saling berbagi dan hal-hal penting lainnya. Aku tidak
tahu apa jadinya jika tidak ada kedua orang ini di dalam hidupku, Aku selalu
bersyukur akan hal itu. Keromantisan mereka dalam berumahtangga pun terkadang
membuatku iri, ini memacuku agar bisa segera menikah dan memiliki calon
pendamping seperti Ayah kelak. Ayah dan Ibu telah berhasil mempertahankan rumah
tangganya lebih dari 15 tahun, kata Ayah agar rumah tangga selalu bisa Akur dan
rukun kuncinya adalah selalu diiringi dengan agama yang kuat dan juga hal-hal
romantis setiap saat. Ah, sungguh manis sekali perkataan Ayah, tanpa malu Ia
mengatakan itu kepada anaknya yang masih berumur 17 tahun ini.
Kami
pun berangkat di tengah hujan yang semakin deras. Sebenarnya, Aku tidak terlalu
bersemangat untuk pergi hari ini, jujur saja jika hujan begini bawaannya malas
dan ingin tidur di bawah selimut tebal yang hangat.
“Yah,
Ayah ada urusan apa pergi ke villa teman Ayah di Gunung Gede?” tanyaku.
“Teman
kantor Ayah mengadakan pesta syukuran buat anaknya yang sudah menikah dan
memiliki anak, maka dari itu Ayah diundang beserta teman-teman Ayah yang lain,”
jawab Ayah sambil terus fokus memperhatikan jalanan yang semakin basah.
“Disana
ada anak-anak yang seumuran denganku tidak Yah?”
“Ada
banyak kok. Anaknya Bu Linda yang waktu itu ke rumah juga bawa anak
perempuannya nanti, kemudian anaknya Pak Risky juga, tahu kan kamu anaknya yang
tampan itu?”
“Oh
iya tau Yah, ah menurutku biasa saja tidak ganteng-ganteng amat,”
“Jangan
begitu, nanti kamu naksir lagi..”
“Ah,
Ayah bisa saja!”
Ayah
adalah sosok yang suka becanda dan ramah, namun masalah pendidikan Ayah berubah
menjadi orang yang sangat serius. Ayah pun tidak melarang jika Aku memiliki
pacar, karena menurutnya wajar jika anak sekolahan seperti Aku ini memiliki
pacar, asal dengan satu syarat nilaiku tidak boleh turun walaupun tidak
mendapat peringkat setidaknya tidak ada nilai lima di raporku. Namun walau Ayah
mengizinkanku untuk berpacaran, Aku sendiri belum memiliki ketertarikan
terhadap hal-hal seperti itu. Menurutku, pacaran tidak membawa manfaat sama
sekali. Aku mengatakan ini karena melihat pengalaman sahabatku yang bernama
Lina. Lina adalah gadis cantik di kelasku, ya walaupun tidak bisa menyaingi
kecantikan Miss Indonesia, sih. Tapi setidaknya
banyak anak laki-laki yang ingin menjadi pacarnya, sampai Lina pun sendiri
bingung mana laki-laki yang tepat yang bisa menjadi pacarnya. Alhasil, Lina pun
sering berganti-ganti pacar setiap dua pekan sekali. Jadi jika dihitung setahun,
Lina bisa 24 kali berganti-ganti pacar.
“Lin!
Serius lho udah putus sama Rangga?” tanyAku membelalak pada Lina yang sedang
duduk di kantin sekolah.
“Iya,”
jawab Lina santai.
“Yaampun,
Lin! Gak kasian sama Rangga? Kayaknya dia suka banget sama lo tuh,” tatapan
seriusku pada Lina sama sekali tak digubrisnya. Dari raut wajahnya tak ada
tanda menyesal sedikit pun.
“Yaela
Sya, kayak gak kenal gue aja,” jawab Lina lagi dengan nada bicara yang datar.
“Sampe
kapan lo bakal gini terus Lin? Nanti kena lho akibatnya!”
“Sampe
ada cowok yang suka gue apa adanya Sya, sampe ada cowok yang gak cuma ngeliat
gue dari tampang doang..”
“Oh..”
jawabku singkat.
Walaupun
Lina suka berganti-ganti pacar dan hal tersebut masih Ia lAkukan sampai saat
ini. Namun, penjelasannya terhadapku waktu itu sangat membuatku terkesan. Penjelasan
bahwa Lina ingin mencari sosok pria sejati memang sulit dilakukan di zaman
seperti sekarang ini. Ya, untuk anak seumuranku memang permasalahan ini sangat
sulit dimengerti, maka dari itu Aku saat ini hanya ingin pada masalah belajarku
dan juga cita-citAku yang harus kugapai setinggi mungkin.
“Nak,
kamu lapar tidak? Itu tadi Ibu menaruh makanan di kursi belakang. Siapa tahu ada
cemilan disitu,” kata Ayah membuyarkan lamunanku tentang Lina.
“Tidak,
Yah hujan gini tidak membuatku lapar tapi mengantuk,”
“Oh
yasudah kamu tidur saja,”
“Tidak
ah, Aku mau menemani Ayah saja biar tidak ngantuk. Gimana kalo sambil nyalain
radio?”
“Boleh,”
Radio
pun Aku nyalakan. Musik beralunan melow
pun mengiringi kami selama perjalanan kami menuju kawasan yang dituju. Perjalanan
nampaknya masih sangat lama, karena kulihat diluar jendela mobil-mobil dan
motor berbaris rapi memenuhi jalanan. Mobil hanya sesekali jalan di pertigaan
jalan raya Ciawi menuju kawasan Puncak. Keadaan yang macet ini sering terjadi
dikarenakan adanya sistem buka tutup jalan oleh petugas jalanan setempat.
Alhasil, Aku dan Ayah hanya bisa bersabar dengan keadaan jalan yang macet.
***
Setelah
akhirnya berjam-jam kemudian, Aku dan Ayah berhasil menerobos kawasan Puncak
dan selanjutnya menuju ke villa yang kami tuju. Aku sudah tidak sabar seperti
apa villa tersebut, pasalnya ini baru kali pertama Aku mengunjungi sebuah
villa. Semoga hari ini bisa menyenangkan.
***
Kami
tiba di sebuah jalan sempit yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil dan
beberapa motor. Jika ada mobil datang dari arah berlawanan, maka mobil dari
arah kami pun harus bergantian menunggu sampai mobil yang arahnya berlawanan
lewat. Sepertinya, kami hampir sampai di tempat tujuan. Karena Aku sangat
penasaran, Aku pun bertanya pada Ayah.
“Yah,
sebentar lagi kita sampai ya?”
“Iya,
tuh villanya udah keliatan,” kata Ayah sambil membuat angka satu di tangannya
dan menunjuk ke arah sebuah villa yang ukurannya sangat besar dengan warna cat
yang mencolok serta lampu kerlap-kerlip yang berwarna-warni.
“Wah
bagus banget Yah villanya! Gede lagi!”
“Nah
kan.. pasti bakal lebih rame lagi di dalem,”
Terbukti
saja, saat kami tiba di lahan parkir banyak sekali mobil dan moor yang
diparkirkan. Kulihat hanya ada satu petugas parkir dan dia nampak kebingungan
sekali mengatur mobil-mobil yang ingin parkir, karena lahan parkirnya sudah
penuh. Aku sendiri bingung mau diparkirkan dimana mobil kami, kulihat tak ada
satupun celah yang kosong.
“Ayo
pak, ikutin Saya kalau mau parkir. Masih ada yang kosong di pojok sana,” kata
petugas parkir dari luar mobil.
Ayah
membuka jendela mobilnya lebih lebar lagi agar instruksi dari si petugas parkir
yang wajahnya tampak lelah itu terdengar lebih jelas diantara berisiknya
tetesan air hujan yang saling menyusul satu sama lain. Pada akhirnya, kami pun
mendapat tempat parkir yang cukup jauh letaknya dari villa. Tapi lumayan lah
daripada harus parkir di kawan di luar villa. Alhasil, Aku dan Ayah harus
berjalan di tengah hujan yang semakin deras dan cuaca yang semakin dingin
karena kami berada di daerah yang tinggi.
“Untung
Ibu selipin payung di kursi depan, dua lagi!” kata Ayah sambil tersenyum tipis
mengetahui Ibu sangat perhatian terhadapnya.
“Iya
ya Yah,” jawabku tersenyum.
Ketika
sampai di pintu depan, kami dihadapkan oleh dua penjaga tamu yang menunggu
diluar dengan memakai jaket tebal berwarna hitam dan berdiri tegap layaknya
tentara mereka pun bertanya kepada kami.
“Maaf
pak boleh tahu dengan siapa namanya?” tanya sang petugas dengan lembut dan
ramah. Kupikir dengan wajah mereka yang terlihat sangar dan gahar, nada bicara
mereka akan terdengar tinggi layaknya prajurit. Namun, pikiranku salah suara
mereka begitu halus khas orang Sunda. Senyum mereka pun sangat manis, membuat
semua tamu yang datang ke acara ini pun merasa diterima dengan baik. Pikiranku tentang
mereka hanyalah stereotype, padahal
Ibu sudah sering berpesan padaku bahwa harus yang menghindari namanya stereotype tanpa adanya bukti. Begini kan
jadinya, jika berpikiran buruk terhadap orang, jadi malu sendiri.
Setelah
Ayah menyebutkan nama dan jabatan di kantor. Kedua petugas kemudian mengecek
nama Ayah dan mempersilahkan kami berdua masuk. Petugas yang satu menawarkan
kami untuk menyimpan jaket dan payung yang kami kenakan. “Maaf Bapak dan Adik
mungkin jaket dan payungnya bisa dititipkan pada kami,” tanyanya ramah. “Oh
iya, silahkan,” jawab Ayah.
Aku
sendiri pun tidak memakai baju khusus untuk pesta atau pun berdandan cantik agar
terlihat tampil menarik. Aku hanya memakai kaos berwarna merah muda dan celana jeans hitam serta sepatu boot dengan hak lima sentimeter berwarna
hitam. Untuk aksesoris aku hanya memakai jam tangan berwarna senada dengan baju
yang aku kenakan. Aku lebih memilih gaya kasual yang sehari-hari dibanding pake
gaun atau dress biar kelihatan
feminim, itu lebih ribet menurutku. Lain halnya dengan ayah yang berpakaian
serba formal. Ayah lebih memilih untuk memakai batik di hari Minggu, katanya
biar lebih simpel dibanding memakai kemeja dan jas. Batik berwarna merah tua
dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Soal aksesoris, Ayah sama
sepertiku hanya memakai jam tangan.
“Halo
selama datang Bapak Luki Hermianto,” sapa salah seorang tamu. Tamu itu
kelihatan sangat rapi sekali. ia memakai jas berwarna biru gelap yang
sepertinya mahal dan baru. Kemudian di kantungnya terselip sapu tangan merah
yang disamakan dengan warna kemejanya. Setelan jas yang rapi dipadukan dengan
celana bahan berwarna biru gelap senada dengan jasnya. Kemudian aksesorisnya,
orang tua itu memakai jam tangan yang mengkilap sekali, aku berani bertaruh
pada diriku harga jam itu harganya puluhan juta. Jika bisa dibandingkan,
mungkin bisa untuk membeli lima buah motor bebek matic keluaran terbaru. Selain itu, yang menarik perhatianku adalah
salah satu gigi orang tua yang saat ini sedang berbincang dengan ayah adalah
emas. Ya, gigi emas itu tampak bersinar dan menunjukan kemilaunya ketika sang
orang tua tersenyum dan tertawa. Umur orang tua itu mungkin tidak lebih dari 50
tahun.
Selain
orang tua yang super glamour yang
menarik perhatian, ruangan dekorasi villa adalah hal yang paling menarik untuk
dinikmati disini. Sayangnya aku tidak membawa kamera kesayanganku, untuk
memotret dekorasi ruangan yang begitu cantik disini. Ruangannya di dekor serba
warna merah. di tengah ruangan ada kue tart yang menjulang tinggi setinggi lima
tingkat dengan di atasnya ada hiasan patung figurin bayi kecil yang sedang
tersenyum seakan-akan ingin menunjukan dirinya bahwa Ia telah hadir di dunia
yang fana ini. kue tart itu sendiri berwarna putih dan merah seperti warna
bendera Indonesia. Di sekitar kue berjejer gelas-gelas minuman berwarna-warni
yang melambangkan keceriaan, mungkin itu memiliki arti bahwa kelak si anak bayi
ini hidupnya dipenuhi keceriaan. Kue itu nampak begitu lezat walau dilihat dari
kejauhan, jika boleh aku ingin mencicipinya sedikit.
Dari
dekor ruangan yang begitu mewah, aku dapat menyimpulkan bahwa orang yang
mengadakan pesta ini bukanlah orang biasa dan dari tamu undangan yang datang terlihat
sepertinya orang yang punya hajat adalah orang penting. Tentu saja firasatku
benar, ketika kutanya pada Ayah siapa yang mengadakan pesta, Ayah menjawab ini
adalah pesta dari pimpinan tempat Ayah bekerja. Dari situ pun aku mengangguk,
pantas saja dari luar villa sudah terlihat kemegahan pesta ini.
Pesta
pun dimulai, Ayah mulai asyik mengobrol dengan teman-temannya. Seperti biasa
Akua mencari cemilan-cemilan yang aneh dan belum pernah aku makan.
“Dik,
kamu Ayah tinggal ngobrol sama temen-temen Ayah gapapa ya?” tanya Ayah khawatir
jika Aku kesepian.
“Gak
apa-apa kok Yah, santai aja. Aku mau cari makanan dulu disana. Ayah tau kan Aku
suka cemilan.. hehe,” candaku pada Ayah agar Ayah bisa menikmati acaranya hari
ini. ayah pun berlalu, Aku pun bersiap mencari sebuah piring dan sendok untuk
mengambil cemilan yang dihidangkan. Soal makanan, Aku tidak pernah malu-malu
ataupun ragu, terlebih ada cemilan yang Aku suka, aku lalu mengambilnya tak
cukup satu, minimal dua cemilan yang ada di piring. Maklum, Aku tidak mengambil
makanan beratnya, aku lebih memilih makanan ringan yang banyak dibanding makan
berat yang repot mengambilnya. Hap.. hap.. satu dua tiga sekitar delapan
cemilan sudah ada di dalam piringku. Kini waktunya mencari tempat untuk
memakannya sambil santai.
Kemudian,
sambil membawa piring aku menuju ke balkon yang langsung menghadap ke
pemandangan hijau khas gunung, tidak terlalu banyak orang disana mungkin
dikarenakan cuacanya dingin. Tapi, karena pemandangannya bagus, Aku tetap nekat
makan di balkon.
“Hmm
enak sekali cemilan ini. apa ya namanya?” tanyaku pada diri sendiri. Karena tidak
ada yang menggubris, aku melahap cmemilanku lagi dan lagi. Tak terasa Aku sudah
memakan lima cemilan. Ketika ingin memakan cemilan yang keenam, kurasakan ada
yang meakaikan mantel ke tubuhku. Aku terkaget, namun kupikir itu adalah Ayah
yang memakaikan mantel agar Aku tidak kedinginan.
Aku
pun menoleh ke belakang, “Ayah, makasih Yah!”
Namun
Aku dibuat kaget sekali lagi, ketika ku menoleh ke belakang yang kulihat
bukanlah sosok Ayah yang biasa kukenal. Dia adalah pemuda yang tubuhnya tinggi
dan berwajah tampan. Ketika kulihat ke wajahnya, tak ada setitikpun jerawat di
pipinya lalu Ia menebarkan senyumnya kepadaku, sambil berkata, “Kalau tidak
memakai jaket setidaknya makanlah di dalam. Jika tidak nanti kamu masuk angin.”
Aku
hanya mengangguk pelan tanda mengiyakan. Jantung ini berdegup kencang ketika
mendengar suaranya berbicara. Siapakah dia? Pikrku.
“Oh
iya ini makasih. Soalnya di dalam ramai, jadi Aku makan diluar hehe,” jawabku.
“Iya
sama-sama,” jawabnya.
“Tapi,
siapa kamu? Gak enak nih jadinya ngerepotin,” Aku pun tertunduk malu melihat
kenyataannya ada yang memperhatikan tingkahku, terlebih lagi dia pria yang
tampan.
“”Gak
apa-apa kok, selama kamu masih mau makan disini pakai aja itu. Gampang nanti
kamu bisa kembalikan sebelum pulang. Aku Radit,” jawabnya.
“Oh
Radit, kenalin Tasya. Salam kenal,” kataku sambil menjulurkan tangan.
“iya
Tasya. Salam kenal juga,” jawab Radit sambil menjabat tanganku.
Radit
berpakaian rapi seperti halnya teman0teman Ayah yang berada di dalam. Ia memakai
pakaian serba putih. Jasnya putih, kemeja putih dengan dasi kupu-kupu yang
berwarna merah. Celana bahannya yang sangat licin dan halus pun berwarna putih
bahkan sampai sepatu dan jam tangan pun warnanya putih. Mungkin Radit orang
yang suka warna yang seragam. Rambutnya hitam cepak seperti habis dicukur,
terlihat sekali Ia sangat prepare
dalam acara ini. yang menarik perhatian dari Radit adalah matanya yang bening
dan berwarna cokelat terang. Membuat siapapun yang melihatnya akan setuju bahwa
itu mata yang sangat indah.
“Tasya,
kamu masih mau makan disini atau pindah ke dalam?” pertanyaan Radit membuyarkan
lamunanku.
“Oh,
Aku masih mau makan disini sambil melihat pemandangan. Aku kebetulan orangnya
gak suka keramaian,” jawabku.
“Oh
kalau begitu, boleh aku temani?”
“Boleh
kok, santai aja. Tempat ini free kan buat umum hehe,” candaku mencairkan
suasana. Tak kusangka candaanku yang garing bisa membuat Radit sedikit tertawa.
Saat Ia tertawa, ada lesung pipi di kedia pipinya. Tak pernah kulihat ada pria
lain yang memiliki lesung pipi indah selain Afgansyah Reza. Kemudian, kami pun
mengobrol satu sama lain. Tak kusangka, Radit orangnya humoris dan dia sangat nyambung ketika diajak ngobrol. Kami mengobrol
banyak hal mulai dari pelajaran hingga masalh film. Selera Radit dalam film
sangatlah berkelas, bahkan Ia bercerita ingin mengambil kuliah film setelah
lulus sekolah. Sebuah cita-cita yang keren menurutku. Hal lain yang kuketahui
tentang Radit, ternyata Radit lebih tua dua tahun umurnya dibanding diriku.
“Oia,
kamu kesini dengan siapa?” tanya Radit.
“Dengan
Ayah,” jawabku.
“Ayah
kamu yang mana?”
“Yang
itu tuh, yang pakai batik merah,” jawabku sambil menunjuk ke arah Ayah yang
sedang asyik ngobrol dengan pimpinannya.
“Oh,
yang lagi ngobrol sama mertua kakak,”
“Kamu
kenal dengan pimpinan Ayah?’
“Bapak
yang punya pesta itu mertua dari kakak Aku. Aku adalah adik ipar dari anaknya
Bapak pimpinan,” jawab Radit menjelaskan.
“Oh,
jadi kamu adik dari Kak Nayla?”
“Iya,”
Pantas
saja Radit berpakaian sangat rapi, mungkin karena sudah tuntutan diharuskan
rapi jadinya Ia memakai pakaian yang seragam tapi bisa juga itu memang kemauan
Radit agar bisa terlihat rapi di depan orang banyak.
“Kamu
orangnya santai banget ya. Gaya kamu kasual banget, Sya,” ujar Radit. “Aku juga
ingin pakai, pakaian sederhana.”
“Lho,
emangnya kenapa gak pake juga?” tanyaku penasaran.
“Kakak
bilang Aku harus rapi dan kelihatan berwibawa hari ini. pakaian ini juga yang
memilihkan kakak, bukannya Aku. Aku sih tidak pun koleksi pakaian seperti ini
di rumah,”
Kemudian,
Aku pun tersenyum dan senang ternyata pikiranku benar.
“Kok,
tersenyum? Ada yang lucu ya Sya?” tanya Radit dengan ekspresi heran melihat
senyumanku yang tidak wajar.
“Oh,
gak kok. Harusnya kamu bilang kamu gak suka dengan pakaian itu dan ingin
menjadi diri sendiri aja. Toh kamu sendiri kan yang ngerasain enak atau gak
enaknya baju yang kamu kenakan?”
“Aku
gak bisa galak sama kakak,” jawab Radit dengan nada sedih.
“Aku
gak menyuruhmu membentak kakakmu Dit. Tapi, kamu bisa lebih tegas dan
mengutarakan keinginan kamu,” kata ku.
Tak
terasa Aku dan Radit sudah mengobrol alam sekali dan kami sudah menjadi teman. Senang
sekali Aku bisa berkenalan dengan orang seramah Radit yang mau meminjamkan
mantelnya padaku selama kami mengobrol diluar. Ayah pun datang menghampiri dan
memberitahukan bahwa waktunya kami untuk pulang. Aku pun berpamitan pda Radit
dan mengucapkan terima kasih padanya.
“Radit,
Aku pulang duluan ya. Terima kasih atas mantelnya,” ucapku.
“Iya,
sama-sama Sya. Senang mengobrol denganmu. Lain kali ngobrol lagi ya,” ucap
Radit sambil tersenyum manis dan melambaikan tangannya.
“Kamu
hati-hati di jalan,”
“Iya
kamu juga, sukses untuk pestanya ya,”
Ayah
dan Aku pun menuju ke tempat parkir. Petugas penjaga pintu masuk pun memberikan
jaket dan payung yang kami titipkan sebelumnya. “Terima kasih telah berkunjung,”
kata sang petugas. Kemudian kami diantarkan, menuju tempat parkir oleh sang
petugas parkir yang berbeda, tidak seperti yang sebelumnya. Mungkin petugas
parkir yang sebelumnya kini sedang beristirahat dan digantikan dengan yang
baru. Aku merasa lega, karena akhirnya bapak-bapak petugas pasrkir yang
sebelumnya bisa beristirahat juga setelah sebelumnya kulihat dari raut wajahnya
Ia begitu lelah sekali seperti tidak tidur seharian.
***
Aku
dan Ayah telah keluar dari kawasan villa menuju jalan raya. untunglah jalanan
saat petang tidak macet bahkan lengang. Aku langsung berpikir bisa pulang ke
rumah dengan cepat.
“Tadi
kamu kok bisa mengobrol dengan adik iparnya menantu Pak Budi, Sya?” tanya Ayah.
“Oh
tadi kebetulan aja kok, Yah,” jawabku.
“Oh,
tapi tadi kalian kelihatan serasi kok,” ledek Ayah. “Lain kali dibawa ke rumah
ya.”
“Ayaaah
apaan si.. Tadi itu cuma ngobrol biasa. Aku bukan pacarnya Ayah, ngapain harus
dibawa ke rumah?” jawabku sebal.
“Hehe..
becanda kok. Jelek tuh mukanya kalo cemberut terus.
Ketika
Aku sedang becanda dengan Ayah, kejadian tidak disangka muncul. Sebuah pohon
besar tiba-tiba tumbang di seberang jalan. Untung saja ada di arah jalan yang
berlawanan dengan mobil kami dan tidak menindihi mobil Aku dan Ayah. Dengan sigap
Ayah mengerem mobilnya dan berhasil memberhentikan laju kendaraan. Terlihat jelas,
pohon yang tumbang begitu besar tepat di depan kami, ranting-ranting pohon
menghalngi kami untuk lewat. Namun, dari arah berlawanan mobil-mobil kencang di
jalanan yang kosong tak dapat mengendalikan laju kendaraannya, sehingga mobil
pun membanting setir ke arah jalan yang terdapat mobil kami. Terdengar suara
rem yang memekikan telinga, dan “Bruk!” dengan keras menghantam mobi kami,
menembus ranting-ranting pohon.
Dengan
syok dan jantung yang berhenti selama beberapa detik, aku pun menjerit melihat
ternyata yang menabrak mobil kami adalah mobil jeep yang ukurannya lumayan
besar. Mobil jeep itu terguling dan kini berada di atas mobil sedan yang
berukuran dua kali lipat lebih kecil. Kami pun terjepit, kulihat Ayah sudah
pingsan dan berlumuran darah di kepalanya. Darah yang mengalir begitu deras,
aku segera panik. Karena bagian kanan mobil terkena dampak yang begitu besar. Kaca
mobil depan mulai pecah sedikit demi sedikit. Aku rasa mobil jeep yang berada
di atas mobilku, lambat laun mulai menindih lebih kebawah, sehingga membuat Aku
dan Ayah semakin terjepit.
Sambil
menangis, Aku berusaha membangunkan Ayah, “Yah.. Ayah.. Bangun Yah! Kita harus
keluar dari mobil,” namun tak ada respon. Berkali-kali aku membangunkan Ayah,
tap hanya jawaban diam yang kudapat. Dalam pikiranku, Aku harus segera
mengeluarkan diri dan Ayah sebelum mobil jeep itu meledak, karena kulihat
bagian tangki bendinnya mulai bocor. Namun apa daya, kakiku pun terjepit, aku
hanya bisa menggerakan tubuh bagian atas dan tangan untuk bergerak. Beberapa
serpihan kaca menancap, di lengan dan juga pelipisku. Aku merasakan pening dan sudah
tak sanggup bergerak untuk bisa meloloskan diri. Namun, Aku tahu tidak boleh
menyerah dalam keadaan seperti ini. setidaknya Aku harus mengeluarkan Ayah yang
pingsan sebelum darahnya benar-benar habis dan Aku tidak ingin kejadian lebih
buruk menimpaku lebih dari ini. dengan segala udaha dan doa, Aku menarik tubuh
Ayah walaupun rasanya tidak mungkin untuk keluar. Kulihat mata Ayah sedikit
terbuka menandakan Ia telah sadar.
“Ayah!”
ujarku.
Dengan
tubuh yang terkujur lemas dan nada suara yang sangat rendah, Ayah coba
berbicara padaku. Aku masih ingat betul senyum tipisnya diantara darah wajah
yang menunjukan keputusasaan. Beliau masih bisa memaksakan senyumnya, walaupun
keadaan tengah sulit seperti ini. Sambil tersenyu, Ia berkata, “Nak, kamu
keluar Nak. Kamu harus bertemu dengan Ibu. Tinggalkan Ayah disini.”
Mendengar
kata-kata seperti itu, air mata ini tak sanggup kutahan. Aku berusaha sekeras
mungkin agar Aku dan Ayah bisa selamat. “Tapi, Yah. Ayah juga harus bertemu
Ibu.”
Beberapa
menit kemudian, kudengar teriakan orang-orang dari arah luar mobil. Orang-orang
yang berteriak itu kemudian berteriak, “Ayo angkat mobilnya! Selamatkan orang
di dalam!”
Mendengar
teriakan semacam itu, mungkin petugas penyelamat telah datang. Aku pun
bersyukur akhirnya ada juga yang datang menyelamatkan. Dengan begitu, Ayah dan
Aku bisa selamat. Namun.. kulihat Ayah sudah tidak sadarkan diri lagi. Semoga itu
hanya pingsan.
Seorang
pria kemudian mengetuk-ngetuk jendela mobil yang ada disampingku. Dengan
kesadaran yang telah setengah, Aku berusaha untuk mendengarkan apa yang ingin
disampaikannya. Aku melihat mulutnya terbuka lebar dan mengatakan beberapa kata
yang sulit Aku mendengarnya. Aku berusaha dan berusaha mendengarnya namun tidak
bisa. Mungkin otot-otot tubuhku sudah lemas semua, karena banyaknya darah yang
keluar dari dalam tubuh. Namun, ketika Aku mulai merasa kesadaranku telah
hilang. Pria itupun membuka pintu mobil dengan paaksa dan berhasil menarik
tubuhku keluar. Dengan lemas Aku berkata kepada sang pria penyelamat, “Ayah.. Selamatkan
Ayah dulu.” Pria itu pun menjawab, “Iya tentu saja, tak perlu khawatir.” Kemudian
Aku pun pingsan.
***
Aku
bangun di sebuah kamar yang beraroma obat dimana-mana. Aku sudah menduga kini
Aku berada di rumah sakit. Infus tersuntuk di tanagan kiriku. Ketika membuka
mata, terasa rasa pening yang luar biasa di kepalaku. Aku sungguh tak berdaya. Kulihat
Ibu sedang berdiri, seperti sedang menyiapkan makanan untukku. Aku tidak tahu,
apakah ini pagi, siang atau malam hari. Sudah berapa lamu aku disini? Namun yang
paling penting dimanakan Ayah? Bagaimana nasibnya setelah kecelakaan? Tak ada
waktu untuk berbaring diam disini, Akua harus segera mencari Ayah dan
memastikan kabarnya.
Aku
berusaha mengumpulkan tenaga untuk berbicara pada Ibu, tetapi tidak ada suara
yang keluar, kucoba lagi, namun hanya satu huruf yang keluar dari mulutku. Kucoba
dengan lebih keras, akhirnya aku bisa berbicara walaupun sedikit.
“I..bu..”
panggilku pelan namun Ibu tidak mendengarnya. “Ibu..”
Kemudian
Ibu dengan raut wajahnya yang letih menoleh ke arahku. “Kamu sudah sadar Nak!
Syukurlah.. Anak Ibu sadar juga. Syukur..” Ibu berbicara sambil menunjukan rona
wajah bahagia walaupun sebenarnya Aku belum bisa mendengar sepenuhnya apa yang
dikatakan Ibu. Aku pun tersenyum, agar bisa menunjukan padanya bahwa Aku
baik-baik saja.
“Ayah
dimana?’ tanyaku.
Ekspresi
wajah Ibu seketika berubah dari yang senang menjadi sedih ketika mendengar
pertanyaanku. Aku menebak mungkinkah sesuatu yang buruk terjadi pada Ayah? Apakah
itu? Aku pun bertanya sekali lagi, “Dimana Ayah, Bu?"
Ibu
memgang tanganku dan sekali lagi menunjukan ekspresi wajah sedihnya kali ini
dengan air mata yang berlinang membasahi kedua pipinya. Dengan jelas Aku bisa
mendengar kata-kata Ibu saat itu, “Ayah sudah meninggal Nak. Dia sudah pergi ke
tempat yang lebih indah.”
Kata-kata
Ibu barusan sangat jelas masuk ke dalam telingaku. Pupus sudah harapanku
berharap Ayah akan selamat. Tak ada lagi bermain di hari Minggu, tak ada lagi
Ayah yang selalu tersenyum, tak akan ada lagi Ayah yang membuat keluargaku sempurna.
Kenangan akan Ayah mengalir bersama derasnya air hujan. Ayah..
***
Hujan..
hujan selalu membawa kenangan-kenangan indah yang tak akan terlupakan. Di saat
hujan juga Aku dan Ayah tertawa bersama.. Di saat hujan pula Aku dan Ayah
berpisah. Hujan tolong sampaikan rinduku pada Ayah yang sudah tenang di alam
sana. Aku tidak akan pernah melupakanmu Ayah. You’re my everything.
“Sya
udah siap pergi ke makam?” tanya Ibu membuyarkan lamunanku akan hujan dan Ayah.
Hari ini adalah tepat satu tahun Ayah meninggalkan Aku dan Ibu. Walaupun kami
berdua perempuan, kami harus bisa tetap mandiri dan melanjutkan kehidupan
dengan lebih baik lagi. Itulah yang selalu diajarkan Ayah tentang kehidupan.
“Iya
Bu, Tasya udah siap,” ujarku.
“Yuk
buruan. Radit sudah menunggu diluar,” ucap mama.
Setidaknya
Aku sudah mengabulkan satu permintaan Ayah sebelum Ia pergi menghadap Ilahi
yakni membawa Radit ke rumah. Aku dan Radit sudah resmi berpacaran sekarang dan
Aku harap, Aku dan Radit adalah pasangan selamanya. Amin.
“Radit,
maaf menunggu lama.”
0 comments
No Rude Words, Please ^^