Perspektif

Sore itu... Aku lihat seorang bapak dengan raut wajah memelas, letih, dan kasihan duduk di salah satu pojok anak tangga jembatan penyeberangan stasiun kereta api Bogor. Pemandangan seperti ini sebenarnya sudah tidak asing lagi buatku, tetapi aku selalu saja tersentuh, selalu timbul rasa ingin membantu orang-orang yang selalu memasang tampang kelaparan itu.

Hmm... mungkin hati nuraniku masih ada. Pikirku.

Tetapi, pikiranku berbisik, "Tunggu dulu!"

Ada apa gerangan ia menyuruhku menunggu?




Aku pun menurut, aku menunggu, tidak jadi langsung memberi sesuatu kepada bapak yang masih duduk di pojokan anak tangga itu. Entah sudah berapa lama dia duduk disitu. Dari kemarin? Seminggu lalu? Entahlah.

Aku pun masih menunggu, entah menunggu untuk apa. Aku putuskan untuk berdiri dengan jarak lima meter dari posisi bapak yang memakai peci itu.

Aku lihat wajahnya semakin kasihan, sesekali ia bilang lapar, dan mengharapkan belas kasih orang-orang yang berlalu-lalang menuju dan dari stasiun. Tak tega melihatnya.

Aku masih berdiri, tak terasa 30 menit berlalu. Lalu tak lama, aku melihat sesuatu. Ya, sesuatu yang membuat perasaan kasihan berubah jadi kaget, takjub, dan sakit hati.

Betapa tidak?
Sang bapak yang daritadi mukan memelas, berekspresi seperti orang yang belum makan berhari-hari, ternyata ia mengeluarkan banyak uang dari saku celananya. Ada lembaran seribu, dua ribu, lima ribu, dan uang logam Rp500. Uang yang cukup banyak untuk seseorang yang mengeluh kelaparan selama 30 menit! Mata aku pun terbelalak. Bah...

Tak lama setelah ia mengeluarkan uang, ia pun mulai menghitung. Sambil menghitung dan merapikan uang-uang kertas, bapak itu pun bercerita dalam bahasa Sunda pada temannya yang sedang duduk di sebelah.

Bapak peci : "Hari ini dapat sedikit!"

Teman bapak peci : *terdiam*

Bapak peci : "Kemarin anak saya minta untuk beli handphone tapi saya gak kasih"

Teman bapak peci : *masih terdiam*

Bapak peci : "Kalau gak hujan hari ini, biasanya dapet Rp200 ribu hingga Rp500 ribu"

Ia melakukan percakapan itu sambil mengisap sebatang rokok. Setelah percakapannya selesai, ia memasukan "penghasilan" yang ia dapat kembali ke saku celana. Dan memulai aksinya lagi sebagai pengemis jalanan. Ya, pengemis.

Bermodalkan gelas plastik bekas minuman bermerek, ia menyodorkan tangannya lagi kepada orang -orang yang lewat. Tidak lupa sambil memasang ekspresi muka letih untuk memancing rasa iba.



















You Might Also Like

0 comments

No Rude Words, Please ^^